Menteri Baru=Kebijakan Baru, Kapan Pendidikan Kita Bisa Maju?

CITY GUIDE FM – Pada tahun ajaran 2025/2026, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti berencana mengembalikan kebijakan sistem penjurusan SMA yaitu IPA, IPS dan Bahasa yang sebelumnya dihapus oleh Nadiem Makarim. Dia menganggap penghapusan sistem penjurusan itu tidak melalui riset dan pertimbangan yang matang.
Sementara dari sisi Nadiem, penghapusan sistem penjurusan dan mengganti dengan Kurikulum Merdeka itu untuk menghapus pelabelan yang cukup kuat di masyarakat. Bahwa IPA lebih unggul dari IPS maupun Bahasa.
Di samping itu, seiring perkembangan pendidikan, maka terlalu sempit jika mengelompokkan bakat anak hanya 3 bidang.
Tetap saja, kebijakan kedua Menteri ini mengundang pro-kontra. Gonta-ganti kebijakan seiring dengan pergantian menteri ini cukup menunjukkan bahwa Indonesia tidak mengacu peta jalan (roadmap) pendidikan jangka panjang.
Melansir BBC, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji mengungkapkan kebijakan tidak akan berubah meski berganti Menteri jika berpegang pada roadmap tersebut.
“Jadi kita bisa mengukur misalnya lima tahun Nadiem sudah sampai mana, maka Pak Abdul Mu’ti melanjutkan, kan begitu. Nanti dia sudah sampai tangga ke berapa menuju milestone yang dirancang itu, untuk dilanjutkan lagi,” kata Ubaid.
Padahal pada 2024 lalu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah meluncurkan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025-2045. Sebagai bagian dari implementasi Visi Indonesia Emas 2045.
Dalam roadmap itu, kualitas pendidikan Indonesia berada di posisi ke-6 dari 7 negara. Dalam hal membaca-matematika-sains, Indonesia kalah dari Singapura, Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
Hambatannya karena tidak sinkronnya program antar-sektor dalam mendukung PAUD-HI (Pendidikan Anak Usia Dini Holistik Integratif).
Kemudian minimnya sosialisasi dari dinas atau pemerintah setempat terkait PAUD-HI, kurangnya keterlibatan orang tua dalam layanan PAUD-HI, serta belum optimalnya pemahaman guru terhadap PAUD-HI.
Di peta jalan ini Bappenas mendorong adanya kebijakan dalam hal percepatan wajib belajar 13 tahun. Serta pemerataan akses pendidikan tinggi, pengembangan kualitas pengajaran serta pembelajaran.
Tapi masalahnya, menurut Ubaid, rancangan dalam peta jalan pendidikan itu tidak sinkron dengan keputusan maupun program baru menteri pendidikan maupun presiden.
“Sekarang mau ada sekolah unggulan, sekolah rakyat, makan bergizi gratis, itu ada enggak di peta jalan pendidikan Bappenas? Tidak ada. Artinya tidak ada yang jadi kiblat pendidikan Indonesia,” tuturnya.
Apalagi profesi guru di Indonesia itu tidak menyejahterakan. Sementara tidak sedikit guru adalah orang yang melamar ke mana-mana dan ditolak, akhirnya jadi guru. Imbasnya adalah kualitas guru yang kurang kompeten.
“Kalau begini terus, anggaran pendidikan kita yang sangat besar tidak akan berdampak apa-apa,” tegasnya.
Itulah mengapa, gonta-ganti kebijakan begini cuma merugikan guru dan siswa karena mereka seperti “kelinci percobaan” oleh pejabat.
Editor : Intan Refa