Blues SpiritNews

Blues Spirit Sesi 71 : Sulitnya Bikin Resolusi 2025

Blues Spirit Sesi 71 : Sulitnya Bikin Resolusi 2025

Bersama dengan hari-hari akhir lengsernya tahun 2024 ini, tentu kita semua sudah mencatat hal-hal baik dan buruk yang sudah kita lewati. Secara personal, kita masing-masing, tentu sudah tahu, bagaimana rencana yang akan kita tempuh di tahun 2025 nanti.

Tapi secara kolektif, sebagai warga bangsa, kita masih bertanya. Sudahkah kita dapati gambaran dan rencana langkah itu?! Jawabnya, tergantung dari pimpinan pemerintahan.

Tapi pemimpin itu, semuanya baru. Baru dihasilkan dari pileg, pilpres dan pilkada. Bahkan pilkadanya masih proses menuju pelantikan. Bagaimana mereka?! Tidak tahu.

Kita hanya tahu mereka dari visi misinya yang disodorkan ketika menawarkan diri untuk dipilih. Dari sebagian mereka, telah kita kenali perangainya. Karena sudah ada yang pernah memimpin atau populer dalam kiprah politik. Selebihnya yang lain, tidak tahu.

Jadi, kita masih meraba, bagaimana kita nanti. Ini berbeda dengan ketika kita masih punya GBHN. Garis Besar Haluan Negara. Itu dulu, hadir memandu.

Sekaligus menjadi rambu dan koridor. Sehingga kita sudah tahu arah ke mana negara hendak dibawa. GBHN itu, dibuat oleh lembaga tertinggi negara, yaitu MPR.

Merupakan pikiran wakil-wakil rakyat dari segala unsur. Unsur apa saja yang ada di masyarakat, yang diutus oleh komunitas unsur itu menjadi wakil untuk bersidang, berdiskusi, berembuk.

Karena mereka inilah anggota MPR itu. Baru kemudian mencari presiden untuk ditugasi menjalankan GBHN itu. Disebut mandataris MPR.

Sekarang tidak begitu lagi. Undang-undangnya sudah diamamandemen, sampai 4 kali. Pemilihannya menjadi langsung seperti yang kita alami lima kali sampai 2024 ini.

Tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. Hanya ada lembaga tinggi dan semuanya setara. Selama kurun pemilihan langsung itu, pelaksanaan amandemen itu, ada kenyataan yang telah membekas pasti.

Bahwa politik di negeri ini, berjalan pragmatis. Transaksional. Jual beli jabatan. Materialistis.

Hal ini mempengaruhi segala hajat warga negara. Sistem telah membentuk budaya baru. Realitas seperti itu lalu menjadi materi dalam menyusun rencana dalam membuat resolusi yang biasa kita lakukan untuk memasuki tahun baru.

Masih sulit membuat rencana yang presisi. Bagaimana tidak?! Dalam hal korupsi misalnya.

Baru saja kita punya harapan, bahwa korupsi yang merajalela, yang memiskinkan warga bangsa, dijanjikan akan diberantas habis oleh rezim baru. Rezim yang mengaku rela mati demi rakyat…..

Ehhhh…. minggu lalu, vonis majelis hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dijatuhkan
kepada koruptor yang merampok hak rakyat, yang nyolong kekayaan negara senilai 300 triliun,
divonis hanya 6,5 tahun penjara. Dendanya 1M dan uang penggantinya 210M.

Vonis itu dijatuhkan untuk terdakwa Harvey Moeis dalam kasus timah yang heboh itu. Karena kerugian negara mencapai 300 triliun itu.

Uang sebanyak itu bisa untuk mengentas kemiskinan rakyat paling miskin seluruh negeri. Dengan adanya vonis itu, orang lantas membandingkan dengan vonis untuk Setya Novanto.

Mantan ketua DPR RI itu, korupsi e-ktp dengan kerugikan negara 2,3T pada 2018. Dia divonis 15 tahun, denda 1M dan uang penggantinya 66M.

Ini, kerugiannya 300 triliun, kok begitu vonisnya?! Eksekutif bisa bilang, itu urusan yudikatif. Tidak boleh diintervensi. Lagi pula tiap kasus, Tidak bisa sama nilai keadilannya.

Memang. Tapi pemerintah punya politik hukum. Kalau penegasan politiknya misalnya korupsi dihukum mati, penegak hukumnya yang khianat, memeras, menerima sogokan dan seterusnya dikerangkeng di alun-alun untuk diludahi rakyat ramai-ramai, maka orientasi menjalankan hukum oleh yudikatif, akan ke sana.

Kebijakan politik itu sesungguhnya adalah arah. Pemimpinnya adalah dirijen untuk membuat seluruh aparat menjalankan secara harmonis, penuh kepastian.

Tidak jalan sendiri-sendiri. Eksekutif, legeslatif dan yudikatif, berada dalam satu tarikan nafas. Kalau bisa demikian, maka tatanan sosial masyarakat akan terbentuk, menjadi nilai budaya yang beradab, yang berkeadilan.

Kalau ada kepastian seperti itu, pasti gampang kita membuat rencana, bagaimana langkah kita memasuki tahun berikut. Gampang membuat resolusi.

Kalau tidak, dalam memasuki tahun baru, kita hanya akan bisa mengatakan “Selamat tahun baru. Hati-hati menjalani hidup di negerimu. Ikhlaslah pada nasibmu”.

Imawan Mashuri

Arek Malang, Founder Arema Media Group, JTV dan beberapa media di Indonesia.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button