Blues SpiritNews

Blues Spirit Sesi 75 : Menangkap Isyarat Langkah Pemerintahan Baru Malang Raya

Blues Spirit Sesi 75 : Menangkap Isyarat Langkah Pemerintahan Baru Malang Raya

Memasuki pekan akhir bulan April ini, setelah dua bulan kepala daerah baru Malang Raya menjalankan pemerintahannya. Apa warga sudah menangkap isyarat, bagaimana kira-kira perbaikan dan bahkan lompatan yang mereka buat untuk masing-daerahnya?!

Normatifkah? Kreatifkah? Teorikah? Atau tindakan teknis yang konkret?!

Penyikapannya? Birokratis kaku, ataukah luwes berpihak langsung untuk menyelesaikan persoalan rakyat yang mendesak?!

Hitung, berapa banyak mereka mengatakan akan koordinasi, akan dibahas, dan kalimat-kalimat sejenis yang berkutat pada wacana-wacana, teori-teori, yang efeknya adalah pembahasan-pembahasan yang begitu boros dengan teori?

Biasanya ya hanya itu. Omon-omon.

Atau tindakannya teknis, langsung masuk ke tengah persoalan, menyelesaikan problem tatanan dan kebermasyarakatan. Karena, seperti kita ketahui bersama, tiga pasangan kepala daerah untuk Malang Raya ini, bukan orang baru.

Pak Wahyu Hidayat, misalnya. Sebelum jadi Wali Kota Malang sekarang, sudah menjadi penjabat (Pj) Wali Kota Malang. Birokrat asli dan asli Arek Malang.

Lalu Pak Sanusi. Secara de facto, menjadi Bupati Malang ini yang ketiga. Karena yang pertama dulu, ketika masih wakil bupati, sudah naik, akting bupati, ketika bupati aslinya menjalani hukuman.

Adapun Pak Nurochman, meskipun baru kali ini jadi Wali Kota Batu, tapi sebelum ini adalah anggota bahkan wakil ketua DPRD Batu. Ketiganya mestinya bisa langsung tancap gas menangani kebutuhan hajat rakyat.

Tapi coba cek, jangan-jangan beliau-beliau sudah sedemikian rupa melangkah, hanya saja tidak dikomunikasikan. Tapi hari gini, tidak komunikasi? Tidak sosialisasi?!

Mereka pejabat publik lho. Publik harus tahu. Rakyat harus dapat laporan. Saatnya rakyat diberlakukan sebagai tuan, karena kedaulatan sesungguhnya di tangan rakyat.

Pejabat adalah petugas yang diberi amanat. Jangan terus-terusan dibalik.

Kebalik kita selama ini. Membuat pejabat-pejabat itu merasa bos.

Bukan!

Rakyatlah yang bos. Rakyat yang bayar mereka.

Hari gini, pejabat haruslah memanfaatkan media sosial. Banyak contoh.

Lihat yang begitu fenomenal, KDM-Kang Dedy Muyadi, Gubernur Jabar. Sebelumnya dia adalah Bupati Purwakarta.

Betapa pintarnya dia menggunakan medsos. Tapi dia terasa begitu kuat bekal kebajikannya, kepintarannya, dan kesungguhannya.

Sehingga ekspresinya tampak original, dari hati dan kesungguhan.

Beda lho dengan yang dulu kita lihat pejabat masuk gorong-gorong. Setelah dapat pujian, gorong-gorongnya tetap menimbulkan banjir.

KDM konkret. Teknis. Selesai saat itu juga. Setidaknya langkahnya substantif.

Bagaimana wali kota dan bupati bahkan gubernur kita?! Kalau sekarang kita disuruh tunggu sampai 100 hari pertama, oke.

Tapi dua bulan atau lebih dari separuh waktu 100 hari, kita sudah dapat apa?!

100 hari pertama itu, sejatinya adalah suatu gebrakan konkret. Fokus langsung menyelesaikan masalah utama. Sejarah 100 hari itu dimulai oleh presiden ke-32 Amerika, Frankyn Delano Roosevelt, tahun 1933.

Dalam 100 hari, Roosevelt loloskan 15 UU dalam kongres dan menyelesaikan pengangguran Amerika yang ketika itu mencapai 25 persen rakyatnya.

Bagaimana cerita Roosevelt dan apa yang mesti kita bantu kepada pemerintah daerah kita, kita bahas pada Blues Spirit Sesi 76 mendatang.

Imawan Mashuri

Arek Malang, Founder Arema Media Group, JTV dan beberapa media di Indonesia.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button