Blues Spirit Sesi 64 : Momentum Noto Masa Depan
Kita kembali ke kampung halaman sendiri, Malang Raya. Partai-partai sudah menyodorkan calon-calonnya untuk kita pilih.
Kota Malang, tiga calon.
Sam Wahyu Hidayat, birokrat, mantan Pj bergandengan dengan Ali Muthohirin, pengusaha dan komisaris independen salah satu anak usaha BUMN.
Sam Heri Cahyono, pengusaha, mantan cakada kabupaten lima tahun lalu. Sekarang bergandengan dengan Ganis Rumpoko. Ganis adalah calon jadi anggota DPRD Kota Batu yang rela mundur demi N2 ini.
Lalu, Abah Anton, mantan wali Kota Malang yang telah tuntas menjalani pidananya bersama hampir seluruh oknum anggota DPRD Kota Malang. Dalam perkara korupsi yang pernah menghebohkan itu. Dia bergandengan dengan Dimyati Ayatulloh, pengusaha di bidang teknik kesehatan.
Untuk kabupaten, dua calon.
Yaitu HM Sanusi, incumbent, bergandengan dengan mantan rivalnya Lathifah Sohib, mantan anggota DPR RI. Berhadapan dengan Gunawan Wibisono, pengusaha dan mantan anggota DPRD Jatim, yang bergandengan dengan Umar Usman, dokter yang juga pengusaha.
Untuk Kota Batu, tiga calon.
Yaitu Kris Dayanti, penyanyi, mantan anggota DPR RI bergandengan dengan Krisna Dewanata, mantan anggota DPR RI juga.
Kemudian Nurochman, pengusaha dan mantan anggota DPRD Kota Batu yang terpilih lagi tapi mundur. Bergandengan dengan Heli Suyanto, juga pengusaha dan mantan anggota DPRD Kota Batu yang juga terpilih lagi, mundur juga.
Selanjutnya, Firhando Gumelar, wiraswasta berusia 27 tahun bergandengan dengan H Rudi, anggota DPRD Kota Batu yang baru terpilih, tapi mundur demi N2 di Batu itu.
Itulah para kontestan di Malang Raya. Kita semua tentu sudah memperoleh informasi, bagaimana proses turunnya rekomendasi kepada mereka itu.
Bagaimana tarik ulurnya, tukar tambahnya…
Jual belinya, drama-dramanya yang terjadi akibat sistem politik yang ada ini.
Tidak perlu dipersoalkan lagi. Tidak ada gunanya.
Justru sebaliknya, harus kita jadikan titik balik untuk menata masa depan Malang Raya yang lebih baik. Dengan bekal pilihan atas calon kepala daerah yang segera dikontestasikan itu.
Menuju titik balik yang lebih baik itu, rasanya harus juga dengan membalik cara pandang para cukong-cukong ketika belanja calon.
Cara cukong-cukong itu belanja adalah mengandalkan elektabilitas. Mereka punya survei sendiri. Yang elektabilitasnya tinggi diambil, dijadikan jagonya. Dipoles, dimodali dengan berbagai kalkulasi untuk keuntungannya kelak.
LAWAN!
Elektabilitas itu lawan dengan ETIKABILITAS.
Tentang cukong yang kita bahas ini adalah personifikasi dari para pengijon, yang memperjudikan kontes, lomba, pertandingan dan pemilihan-pemilihan.
Tujuannya hanya untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya. Mengabaikan nilai, tidak peduli pada tatanan etik dan moral.
Berbeda dengan pendukung atau simpatisan. Pendukung atau simpatisan pasti menopang perjuangan calon. Demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat dan daerahnya.
Jadi cukong harus dikalahkan. Jangan pilih calonnya.
Pilih saja calon yang etikanya tinggi, moralnya baik, track recordnya bagus, bersih, santun, tidak arogan dan memiliki kecakapan yang mumpuni.
Soal kecakapan di dalamnya adalah bagaimana menentukan arah. Apa yang mesti dikuatkan, bagaimana local nation interest-nya dan seterusnya, yang pernah kita bahas pada Blues Spirit beberapa waktu lalu.
Nanti kita bahas lagi.
Sekarang kalahkan dulu cukong-cukong itu, dengan cara tidak memilih calonnya. Gagalkan calonnya, yang berpotensi menggadaikan jabatan, yang akan nyolong untuk bayar utang dan memperkaya dirinya.
Kita putus rantai korupsi melalui rekrutmen kepala daerah ini.