NewsPemerintahan

Guru Besar UB Nilai Jokowi Tunjukkan Gejala Otoritarian Personal

Ketua Komisi B Dewan Guru Besar UB Profesor Rachmad Syafa'at (foto : Intan Refa)
Ketua Komisi B Dewan Guru Besar UB Profesor Rachmad Syafa’at (foto : Intan Refa)

CITY GUIDE FM, KOTA MALANG – Ketua Komisi B Dewan Guru Besar Universitas Brawijaya (UB), Profesor Rachmad Syafaat mengatakan ada sejumlah permasalahan pada sistem pemerintahan di Indonesia. Problematika itulah yang mendasari puluhan civitas akademika turun gunung menyuarakan petisi sebagai peringatan bagi pemerintah.

Rachmad menyebutkan beberapa di antaranya adalah sistem ekonomi oligarki, di mana segelintir kalangan elit tertentu menguasai 60 persen sumber daya alam. Pun dengan pengambilan keputusan di dewan. Artinya rakyat Indonesia kesulitan mengelola sumber daya alamnya sendiri.

“Kemudian persoalan korupsi yang diabaikan. Internasional menyebut Indonesia menjadi negara terkorup. Temuan Mahfud MD soal dana Rp 349 triliun itu juga tidak ditindaklanjuti. Padahal dana triliunan itu lebih dari cukup jika untuk membangun rumah sakit dan sekolah,” terangnya.

Bahkan, ketua komisi yang membidangi telaah kebijakan negara itu, menyebut Presiden Jokowi tengah membangun sistem otoritarian personal. Mulai dari menggerakkan Mahkamah Konstitusi (MK), TNI berada dalam cengkeraman politiknya.

“Kemudian ada persoalan di mana tentara tidak berani ngomong dalam situasi seperti ini. Itu sebagai contoh oligarki personal otoritarian,” lanjut profesor berkacamata ini.

Presiden Jokowi juga menunjukkan etika politik yang kurang baik dengan mendorong MK untuk menyetujui, mencarikan dalil apapun untuk meloloskan putranya menjadi cawapres. Padahal syarat yang tertuang dalam konstitusi adalah minimal berusia 40 tahun. Kalaupun belum genap 40 tahun, setidaknya memiliki pengalaman menjadi gubernur.

Tidak hanya itu, statement Presiden Jokowi yang mengatakan bahwa presiden boleh berpihak saat pemilu, menurutnya adalah sebuah kekeliruan. Terlebih menurut pengamatannya, Istana menanggapi negatif terhadap pernyataan-pernyataan sikap dari perguruan tinggi itu.

“Padahal di luar negeri dalam mengambil sebuah kebijakan, pemerintah akan meminta pertimbangan dari perguruan tinggi,” kata Rachmad.

Oleh sebab itu, para profesor akan mengevaluasi dan melihat respon pemerintah. Jika pemerintah bersikap sinis, maka mereka akan terus bergerak secara akademis. Baik melalui dialog langsung atau melalui tulisan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button

Radio



x