Blues SpiritNews

Blues Spirit Sesi 47 : Jangan Geser Identitas dan Karakter Malang

Blues Spirit Sesi 47

Pada Blues Spirit Sesi 46 lalu, kita ambil contoh Kayutangan untuk membahas identitas, karakter dan local nation interest. Bahkan kita kulik Taman Tugu atau Alun-alun Tugu, yang dulu disebut Jan Pieterszoon Coen Plein atau taman bundar di depan kantor wali kota itu.

Kita berhenti dulu di situ, sejenak. Hari Kamis, saksikan seluruh ASN yang sedang berpakaian tradisional. Karena diwajibkan setiap Kamis. Lihatlah, apa yang mereka pakai?!

Sorjan dan blangkon-blangkon yang dipakai oleh sebagian mereka. Bahkan oleh pimpinan utamanya. Kita bertanya, mana udeng `e Arek Malang? Mana pakaian tradisionalnya Arek-arek Malang?!

Itu di kantor pemkot lho….. di pusatnya Kota Malang. Apa sih tujuan pakai pakaian tradisional itu? Apa?!
Maksudnya apa?! Kenapa kok tidak memakai pakaian khas Malang beserta udengnya?!

Simak juga :

Demikian pun pakaian wanitanya, yang mencerminkan Kakang dan Mbakyu sebagai ekspresi Kota Malang. Atau Joko-Roro bagi Kabupaten, serta Kangmas dan Nimas untuk Batu.

Itu satu rumpun Budaya Arek, yang ada di Malang Raya. Sekarang, ayo dilanjut ke Jalan Kawi. Berhentilah di No 24, itu rumah dinas Ketua DPRD Kota Malang.

Suatu rumah milik negara, yang berarti adalah milik rakyat Kota Malang. Lihat pagarnya. Kelilinglah di rumah pojok menghadap barat dan selatan itu, PAGARNYA… BALI.

Identitas, BALI. Semua. Padahal di situ berdiam dan bekerja wakil kita, wakil tertinggi Rakyat Malang yaitu
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Malang. Yang dipercaya oleh Rakyat Malang untuk memperjuangkan dan membela rakyat Malang.

Termasuk membela pembangunan fisik dan moral budaya, untuk kemaslahatan dan keluhuran Malang. Nah….. Kok bisa begitu?!

Pertanyaan itu sama dengan pertanyaan, dibawa ke mana atau diarahkan ke mana Malang ini?! Tidak soal, Ketua DPRD itu orang Bali, Kalimantan, Medan, dan seterusnya.

Monggo. Orang mana pun, demi demokrasi dan aturan yg berlaku, silakan. Kita terima dengan lapang dada, tangan terbuka, ikhlas….
Bila wakil tertinggi Rakyat Malang, bukan kelahiran Malang.

Banyak bukan Arek Malang, bisa jauh lebih Arema dibanding Arek Malang sendiri begitu tinggal di Malang. Oke saja.

Tapi identitas kami, dan karakter kami, tolong kuatkan. Perjuangkan. Bukankah kita mengemban pesan leluhur, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Ada pertanyaan, apakah tidak boleh ada keragaman di Malang?! Lho… Lihat sendiri, kita kan sudah punya Pecinan, Kampung Arab dan lain-lain. Sejak dulu kala dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Banyak kota dunia juga punya seperti itu. New York punya, Little Italy, China Town, Little Tokyo dan seterusnya. Tapi semuanya ada dalam plan dan plot. Mana penguatan, mana keragaman.

Bukan ke-ngawur-an. Kita tidak boleh menyepelekan identitas, karakter dan budaya suatu daerah. Dan tidak boleh tidak membelanya.

Ribut-ribut Rempang-Galang, jangan dikira bukan karena kekhawatiran tercerabutnya akar budaya Melayu di sana. Meskipun memang ada yang secara fisik, yaitu relokasi.

Coba kalau relokasi itu menjamin tidak terusiknya budaya leluhur mereka?! Mungkin tidak seribut ini. Jangan dikira Malang tidak bisa begitu. Karena solidaritas Malang sangatlah kuat.

Belum lagi keterbukaan global kita, yang telah mengarah pada paradoksal. Futurolog Alvin Toffler yang bilang sekitar 40 tahun silam, dalam bukunya “Third Wave“, bahwa kita akan sampai pada Global Paradox.

Artinya sampean Arek Malang, warga mBareng, Klojen, Jodipan, Celaket dan seterusnya tapi juga sekaligus warga dunia. Bayangkan kalau identitas dan karakter daerah itu hilang, kita hanya akan sebagai warga dunia tanpa identitas dan karakter. Itu artinya kita tidak punya bumi. Hanyalah netizen dalam data digital.

Imawan Mashuri

Arek Malang, Founder Arema Media Group, JTV dan beberapa media di Indonesia.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button

Radio



x