Benang Kusut Hak Kelola Wisata Coban Sewu, Milik Siapa?
CITY GUIDE FM, KABUPATEN MALANG – Kawasan wisata alam Coban Sewu atau Tumpak Sewu memang berhasil memikat wisatawan lokal dan mancanegara. Tapi di belakang itu semua, ada sejumlah perselisihan atau perebutan hak kelola wisata pada dua wilayah, yaitu Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang.
Belakangan ini ketika musim liburan tiba, sejumlah pendengar mengeluhkan banyaknya pos ticketing untuk menuju kawasan wisata tersebut. Baik akses dari Kabupaten Malang maupun Kabupaten Lumajang. Salah satunya driver sekaligus guide, Eko Adi Santoso. Dia menyebut ada tiga pos tiket.
“Mengenai Tumpak Sewu, loket panorama Lumajang Rp 50 ribu, loket Coban Sewu Rp 50 ribu, loket Goa Tetes dan Telaga Biru Rp 20 ribu. Itu untuk wisatawan asing. Untuk wisatawan lokal harganya berbeda. Tiket panorama Rp 10 ribu, tiket Coban Sewu Rp 20 ribu, Goa Tetes dan Telaga Biru Rp 10 ribu,” kata Eko.
Hal ini juga dibenarkan oleh pengalaman-pengalaman sejumlah pendengar lain. Menanggapi polemik itu, Anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Malang Zulham Mubarok angkat bicara. Kepada Radio City Guide, Zulham menjelaskan bahwa perselisihan pengelolaan wisata Tumpak Sewu itu sudah terjadi sejak tahun lalu.
Awal mula konflik
“Kebetulan pada April sampai Juni kemarin, Pemprov Jatim sudah melakukan asistensi ke Kabupaten Malang. Akhirnya terkuak bahwa secara batas wilayah, coban ini berada di wilayah Kabupaten Malang. Tetapi infrastruktur untuk mengakses Tumpak Sewu atau Grojogan Sewu ini yang digarap dengan bagus ada di Lumajang,” papar Zulham.
Dia mengakui, kalau mau fair, semula warga Lumajang-lah yang lebih peka terhadap pengembangan wisata ini. Karena yang terlebih dahulu membangun infrastruktur dengan serius itu adalah warga Lumajang. Dalam hal ini adalah Desa Sidomulyo, Kecamatan Pronojiwo.
Akhirnya wisata itu semakin berkembang, mulai banyak homestay dan perekonomiannya membaik. Faktanya, sebanyak 80 persen wisatawan mancanegara mengakses Tumpak Sewu lewat Kabupaten Malang karena dekat dengan bandara.
“Apalagi hotel-hotel yang bagus ada di Kota Malang. Tetapi yang unik, setelah ini menjadi ramai, warga Kabupaten Malang ikut membuat jalur sendiri ke arah Coban,” lanjutnya.
Dari situlah, muncul sejumlah pos-pos tiket untuk setiap obyek wisata. Karena warga Desa Sidorenggo, Kecamatan Ampelgading ini juga ingin kebagian ‘kue’ wisata itu. Zulham menegaskan mediasi bersama Pemprov Jatim masih belum ada titik temu, siapa pengelola Coban Sewu yang berhak.
Upaya mediasi
Apa lagi letak geografis pasti wisata alam ini juga masih abu-abu. Sebab, air terjun yang mengalir di Coban Sewu itu jatuh di Kabupaten Malang. Sedangkan view dan akses yang paling bagus itu dari Lumajang, karena akses dari Kabupaten Malang terkendala tebing yang curam.
“Yang kami monitor, kemarin Komisi B DPRD Kabupaten Lumajang sudah ke lokasi. Mungkin yang di sisi LUmajang akan ada penertiban satu pintu. Tapi problemnya yang berkompetisi mendapat kue ekonominya ada warga kita juga,” lanjut politisi PDI Perjuangan itu.
Kembali lagi, ini butuh asistensi yang serius dari Pemprov Jatim. Bahkan beberapa kali sudah ada penegak hukum dari Polda Jatim yang memeriksa perforasi dan potensi pendapatan negara dari warga yang mengelola.
“Mohon waktu, kami sedang merancang agar asistensi dengan Pemprov Jatim lebih serius lagi. Karena yang bisa menyelesaikan ini pemprov. Sudah kami ajukan untuk audiensi dengan pemprov dan mungkin diagendakan di awal tahun. Supaya yang hadir tidak hanya Lumajang saja tapi juga Kabupaten Malang,” tegasnya.
Ada lagi konflik horizontal antar tetangga yang juga ingin ikut mengelola wisata itu. Ujungnya kepala desa setempat membuatkan SK hak kelola wisata yang pendapatan ticketingnya disetor ke kas desa.
“Jadi banyak sisi konfliknya rumit sekali. Karena kebijakan terkait wisata selama ini tidak satu pintu. Ketika pihak desa mengeluarkan SK itu boleh. Lalu ada perforasi oleh Pemkab Malang itu juga sah,” lanjutnya.
Maka, menurut Zulham untuk menyelesaikan polemik wisata Coban Sewu atau Tumpak Sewu ini, Kementerian Pariwisata bisa mengeluarkan SK hak pengelolaan wisata secara utuh satu pintu. Sehingga, pihak-pihak di luar ketentuan SK Menpar itu dapat ditertibkan.
Editor : Intan Refa