NewsPemerintahan

Akademisi Pertanyakan Batas Desibel dalam SE Sound Horeg

Salah satu truk sound horeg saat karnaval di Kabupaten Malang. (Foto : Istimewa)
Salah satu truk sound horeg saat karnaval di Kabupaten Malang. (Foto : Istimewa)

CITY GUIDE FM, KOTA MALANG – Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Panglima Kodam V/Brawijaya resmi mengeluarkan Surat Edaran (SE) Bersama tertanggal 6 Agustus 2025. Aturan tersebut menjadi pedoman bersama terkait penggunaan sound system atau pengeras suara di wilayah Jawa Timur. Termasuk batas kebisingan, larangan merusak fasilitas umum dan tanggung jawab hukum penyelenggara acara.

Meski dianggap satu langkah maju, Pengamat Kebijakan Publik Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Malang Alie Zainal A SH menilai aturan tersebut belum sepenuhnya berbasis bukti (evidence-based policy). Menurutnya, ketentuan batas kebisingan maksimal 120 desibel pada acara seni budaya di ruang terbuka, masih jauh di atas batas aman yaitu 80 desibel.

“Batas 120 desibel itu berisiko pada kesehatan pendengaran. Padahal, kebijakan seharusnya mengacu pada data dan fakta lapangan,” ujarnya.

Selain itu, Alie menilai isi edaran tersebut masih terlalu umum dan mengulang aturan yang sudah ada. Seperti larangan penggunaan narkoba atau kewajiban uji KIR, sehingga efektivitasnya masih diragukan jika tidak diiringi pengawasan ketat di lapangan.

“Tanpa pengawasan konstan dan penindakan tegas oleh kepolisian, potensi pelanggaran tetap tinggi. Bahkan bisa memicu konflik horizontal di masyarakat,” tambahnya.

Ia juga mempertanyakan bagaimana mekanisme pertanggungjawaban hukum dalam surat edaran itu, jika terjadi korban jiwa akibat penggunaan sound system berlebihan. Menurutnya, perlu kejelasan hubungan sebab-akibat (kausalitas) serta batasan yang menjadi tolok ukur penegakan hukum.

Kendati demikian, Alie mengapresiasi langkah Gubernur Jatim, Kapolda dan Pangdam yang dinilainya sebagai kompromi antara pelaku usaha sound system dan masyarakat yang keberatan. Namun ia berharap ke depan ada Peraturan Daerah (Perda) khusus yang lebih rinci, teknis, dan memuat sanksi pidana. Karena hanya undang-undang dan perda yang dapat mengatur sanksi tersebut secara sah.

“Aturan ini masih tahap awal. Perlu regulasi yang lebih rigid (tegas) dan spesifik agar perlindungan masyarakat dan pelaku usaha sama-sama terjamin,” tegasnya.

Sementara itu, Wali Kota Malang Wahyu Hidayat menyambut positif kebijakan tersebut. Menurutnya, aturan ini sejalan dengan peraturan yang telah diterapkan Pemkot Malang terkait pembatasan penggunaan pengeras suara.

“Ya, itu kan sama seperti aturan yang saya buat. Tentunya tidak berat, tapi ada aturan-aturan yang harus diikuti,” ujarnya, Senin (11/8/2025).

Wahyu menjelaskan, pembatasan ini tidak hanya menyasar volume dan durasi penggunaan pengeras suara, tetapi juga mengatur kegiatannya. Ia menegaskan pertunjukan yang mengandung unsur tidak pantas, seperti tarian seronok atau kegiatan yang memicu keributan, harus dilarang.

“Sama seperti imbauan saya pada saat awal. Jadi, ketika Gubernur, Pangdam, dan Kapolda mengeluarkan SE, itu memang hampir sama dengan yang kami jalankan di Malang,” imbuhnya.

Sebagai tindak lanjut, Pemkot Malang akan menggelar rapat bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) untuk membahas kemungkinan penerbitan SE bersama di tingkat kota.

Reporter: Heri Prasetyo

Editor: Intan Refa

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button