
CITY GUIDE FM, MALANG – Pemberitaan soal atlet cabor binaraga di Kabupaten Malang yang terpaksa makan ayam tiren alias mati kemaren, cukup mengundang keprihatinan masyarakat. Masalah keterlambatan turunnya anggaran disinyalir menjadi salah satu faktor untuk menutupi kebutuhan para atlet jelang Porprov Jatim IX.
Kondisi ini ternyata terjadi hampir terjadi pada beberapa cabang olahraga lain di Malang Raya. Sejumlah pendengar City Guide pun ikut berbagi pengalamannya. Salah satunya Elizabet yang pernah menjadi pengurus cabor panjat tebing.
“Problem soal lama turunnya anggaran juga dirasakan cabor panjat tebing di Kota Malang. Memang, pendanaan itu jadi kendala karena dana pemusatan latihan (puslat) tidak turun-turun. Jadi mereka beli vitamin sendiri. Bahkan alat yang mereka ajukan dari dana itu juga tidak jelas sudah terbeli apa belum,” jelas Elizabet.
Menurutnya, lambatnya pencairan anggaran ini karena ada perubahan skema, di mana tahun ini dinas pemuda dan olahraga yang mengurus kebutuhannya. Sedangkan pada Porprov sebelumnya, KONI-lah yang mengurus segala keperluan lewat dana puslat itu.
“Makanya skema tahun ini pencairan dana lama dan barang yang mereka ajukan belum jelas statusnya. Akhirnya, para atlet benar-benar harus mandiri dulu. Padahal Porprov sudah Juni nanti,” lanjutnya.
Heriyono juga sependapat dengan Elizabet, bahwa memang ribet mencairkan dana pembinaan Porprov.
“Anakku kan managernya sepak bola Porprov Kota Malang, masih bondo dewe seperti panjat tebing tadi,” sambung Heriyono.
Pendengar lain Afif Alfauzi yang pernah menjadi pengurus cabor di Jatim turut menjelaskan semrawutnya pencairan anggaran pembinaan atlet ini.
“Semua cabor itu di bawah naungan KONI. Pendanaan KONI bergantung pada dana hibah pemerintah daerah melalu dinas terkait (disporapar). Untuk besaran dana cabor dari KONI pastinya berbeda-beda, tergantung jenis cabornya. Biasanya berbanding lurus dengan prestasi cabor di Porprov sebelumnya,” jelas Afif.
Anggaran pembinaan itu memang cenderung sangat minim, tergantung kemampuan setiap daerah. Tapi dalam hal ini sebenarnya pengurus bisa menyiasati dengan mencari tambahan dana dari sponsorship.
“Jadi sebenarnya fenomena soal minimnya pendanaan atlet tidak hanya di Kabupaten Malang. Tapi juga beberapa cabor di daerah lain,” lanjutnya.
Sementara itu, Andri juga merasakan tersendatnya dana hibah itu juga terlihat dari promosinya yang relatif minim.
“Tidak terlihat ada promosi-promosi untuk membesarkan Malang sebagai tuan rumah Porprov. Sampai sekarang pun tidak terasa gaungnya,” kata Andri.
Semoga masalah tersendatnya pencairan dana hibah ini dapat segera terselesaikan, sehingga para atlet dapat berkompetisi maksimal.
Editor : Intan Refa