Suciwati : Gelar Pahlawan untuk Marsinah Adalah Penyuapan

CITY GUIDE FM, KOTA BATU – Saat pidato Hari Buruh Internasional 1 Mei lalu, Presiden Prabowo Subianto berjanji akan menyematkan gelar pahlawan nasional kepada Marsinah yang terbunuh saat menyuarakan hak-hak buruh, 30 tahun lalu. Menurut Prabowo, langkah ini merupakan bentuk apresiasi negara karena hingga kini belum ada pahlawan nasional yang berasal dari kalangan buruh.
Sebaliknya, menurut Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Suciwati, wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Marsinah itu terlihat sebagai bentuk “penyuapan” oleh negara.
“Orang yang mau memberi penghormatan kepada Marsinah ini adalah orang yang rekam jejaknya patut kita pertanyakan. Kehormatan apa yang kita dapatkan dari orang yang tidak terhormat? Lalu tiba-tiba mau memberi, kan itu seperti suap,” ujar perempuan anggota Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK) itu, Kamis (8/5/2025).
Baca juga :
Dia menilai penyematan gelar tersebut seakan menjadi cara kekuasaan untuk mencuci dosa masa lalu. Terutama keterlibatan Prabowo dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti tragedi penculikan aktivis pada 1998, di mana banyak keluarga korban kini bernaung dalam JSKK.
“Sekarang kita bisa lihat bagaimana dia membayar orang-orang yang sudah diculik, untuk kemudian bisa dibungkam dengan kekuasaan maupun uang. Ruang-ruang itu yang dia pakai,” tegasnya.
Lebih lanjut, istri mendiang Munir Said Thalib itu juga menyoroti adanya agenda sistematis dalam penulisan ulang sejarah Indonesia.
“Pemerintah sekarang sedang menulis ulang sejarah. Peristiwa 1998 tidak ditulis, semua perjuangan masyarakat sipil yang ditembak mati, termasuk perkosaan massal pada Mei 1998, kemungkinan besar tidak akan dimasukkan,” ungkapnya.
Akademisi Universitas Brawijaya Dhia Al-Ulyun juga memandang apa yang negara lakukan terkesan memiliki itikad baik. Padahal secara substansi sebenarnya tidak menyelesaikan akar masalah.
“Itu langkah sistematis agar teman-teman di satu titik akan diam dan mengiyakan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat di Indonesia,” jelas dosen hukum tersebut.
Pegiat Serikat Pekerja Kampus (SPK) itu juga menyoroti salah satu pasal dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP, terdapat klausul dispute resolution atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
“Jadi proses hukumnya tidak berjalan, tapi ada ADR (Alternative Dispute Resolution), yang artinya sebagai pemberian ganti rugi terhadap keluarga korban. Maka, seolah-olah kasus pelanggaran HAM berat sudah selesai,” tegasnya.
Reporter : Asrur Rodzi
Editor : Intan Refa