NewsPendidikan

Semangat Santri Difabel Bertabarruk di Bulan Ramadan


Sejumlah ustadz sedang memberi pelajaran al Quran kepada para santri difabel. (Foto : Heri Prasetyo)
Sejumlah ustadz sedang memberi pelajaran al Quran kepada para santri difabel. (Foto : Heri Prasetyo)

CITY GUIDE FM, KOTA MALANG – Keterbatasan fisik tidak pernah menghalangi para santri difabel di Islamic Disability Center (IDC) untuk bertabarruk atau meraih berkah Ramadan. Seperti yang terlihat pada setiap hari Sabtu (8/3/25), puluhan santri penyandang disabilitas antusias mengikuti kegiatan mengenal dan membaca Al-Quran.

Pengurus wali santri disabilitas Agnes Banowati menjelaskan bahwa kegitan ini sudah berjalan sejak tahun 2017. Awalnya, kegiatan tadabur Qur’an ini dilakukan di Sekolah SLB Kedungkandang.

Seiring bertambahnya jumlah santri, pusat pembelajaran pindah ke Masjid Madinah mulai tahun 2022. Saat ini, total santri yang terdaftar mencapai 80 orang. Para santri ini memiliki beragam kondisi seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita dan tunadaksa.

“Kami memberikan pembelajaran Al-Quran sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing santri. Misalnya, santri tunarungu belajar menggunakan bahasa isyarat, sementara santri tunanetra menggunakan braille dan murotal. Untuk santri tunagrahita, pendekatan pembelajaran lebih bersifat emosional,” jelas Agnes.

Pembelajaran ini tidak berhenti selama bulan Ramadan. Setiap Sabtu pagi, pukul 08.00-10.00 WIB santri-santri penyandang disabilitas ini tetap berkumpul untuk belajar. Agnes menambahkan bahwa tujuan utama dari kegiatan ini adalah membuka pondok pesantren khusus difabel, yang saat ini belum ada di Indonesia.

“Kami berharap anak-anak difabel juga memiliki wadah yang memadai untuk mengenal Al-Quran dan belajar mengaji dengan cara yang sesuai dengan kondisi mereka,” ujarnya.

Saat ini, operasional Islamic Disability Center mengandalkan dukungan dari donatur dan masjid setempat, karena belum mendapatkan bantuan dari pemerintah. Meski dengan segala keterbatasan, kegiatan ini terus berjalan secara mandiri. Ada 30 pengajar yang terlibat dalam proses pembelajaran.

Misalnya, ustadz tunarungu mengajari santri tunarungu. Begitu pula ustadz tunanetra juga mengajar santri tunanetra.

“Kami sedang dalam proses mencari lokasi untuk mendirikan pondok pesantren disabilitas. Harapannya, nanti santri-santri bisa tinggal dan belajar dengan waktu yang lebih panjang,” tutur Agnes.

Reporter : Heri Prasetyo

Editor : Intan Refa

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button