Mengenang Marsinah, Perjuangan Buruh yang Seolah Tak Pernah Usai

CITY GUIDE FM, KOTA BATU – Kisah Marsinah memperjuangkan nasib buruh masih terus dikenang hingga saat ini. Perjuangan tersebut terus berlanjut hingga kini, setiap bulan Mei alias May Day. Upaya mengenang Marsinah terlihat saat Aksi Kamisan Malang yang menghadirkan istri alm Munir, Suciwati, Kamis (8/5/2025).
Saat memutar film Marsinah karya Sutradara Slamet Rahardjo yang terjadi 3 dekade lalu, buruh-buruh di sejumlah daerah melakukan aksi mogok kerja untuk menuntut upah sesuai regulasi. Termasuk 150 dari 200 buruh PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo yang merupakan tempat kerja Marsinah. Sedangkan Suciwati juga menggerakkan buruh di Malang.
“Waktu Marsinah di Sidoarjo, saya mengorganisir buruh di Malang. Tapi sebenarnya banyak juga buruh yang berjuang. Yang terbesar di Rungkut, Surabaya, ribuan buruh sepatu mogok kerja,” jelas Suciwati.
Pada masa Orde Baru, keterlibatan militer dalam urusan publik lazim terjadi. Para pemogok, termasuk Marsinah, menjalani interogasi di Koramil. Kemudian, pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan tewas di Nganjuk dengan kondisi mengenaskan.
Tulang pinggulnya hancur dari dalam. Menurut dokter forensik saat itu, luka tersebut bisa jadi akibat tembakan senjata api ke dalam vagina.
Kematian yang janggal itu seketika mengguncang publik dan media massa. Walaupun tersangka telah tertangkap, banyak pihak masih meyakini adanya keterlibatan militer dalam pembunuhan Marsinah.
Suciwati dan rekan-rekan buruh juga terkejut atas kabar kematian Marsinah. Namun, dia mengaku sudah cukup terbiasa dengan kekerasan yang menimpa para aktivis buruh oleh aparat bersenjata. Suciwati menyebutkan apa yang beberapa rekannya alami di masa lalu.
“Saat itu di Malang, sekitar 24–25 Desember 1992. Ketika para pentolan buruh mengikuti pelatihan paralegal dengan LBH, sepulangnya beberapa orang ditangkap dan disiksa di Koramil setempat,” ujar istri almarhum pegiat HAM Munir itu.
Sementara itu, Dhia Al Ulyun, akademisi Universitas Brawijaya sekaligus pegiat Serikat Pekerja Kampus (SPK) menyampaikan bahwa pada masa itu demonstrasi buruh kerap terlihat sebagai tindakan rusuh yang wajar untuk diberantas.
“Tapi yang menarik, kenapa korbannya harus perempuan? Dan mengapa saat ‘pelenyapan’ mengalami perlakuan berbeda? Itu yang masih menjadi pertanyaan sampai sekarang,” ujarnya.
Dhia menjelaskan bahwa perjuangan Marsinah kala itu adalah untuk menegakkan aturan yang sudah ada. Salah satunya soal cuti melahirkan dan upah sesuai standar.
“Yang cukup menggelitik, menurut data BPS orang tergolong miskin jika berpenghasilan di bawah Rp25 ribu. Padahal, itu cuma cukup untuk makan sekali,” ujarnya.
Menurut Dhia, upah minimum yang sekarang jadi standar kerja adalah upah di bawah kelayakan.
“Hanya cukup untuk bertahan hidup dan Marsinah serta kawan-kawannya saat itu sedang memperjuangkan hak agar bisa hidup layak,” ujarnya.
Reporter : Asrur Rodzi
Editor : Intan Refa