NewsPeristiwa dan Kriminal

Memori Getir Tragedi Kanjuruhan

kepulan asap gas air mata Tragedi Kanjuruhan (Foto : dw.com/Yudha Prabowo)
kepulan asap gas air mata Tragedi Kanjuruhan (Foto : dw.com/Yudha Prabowo)

CITY GUIDE FM – “Tragedi Kanjuruhan“, tepat satu tahun yang lalu, sebuah catatan kelam bencana kemanusiaan. Petaka yang semula adalah euforia pertandingan sepakbola, berubah menjadi jerit tangis dan kesakitan. 1 Oktober 2022, menjadi hari yang gelap bagi sepakbola Indonesia.

Di sana 135 nyawa meregang begitu saja. Mereka yang semula berangkat dengan penuh suka cita, namun berpulang dengan duka. Ada orang tua, anak dan saudara yang meratapi kepergian mereka dengan cara yang memilukan.

Baca juga :

Lambaian tangan terakhir

Aris Budi dan istrinya, Kariyah sampai saat ini masih berusaha tegar. Tak ada lagi yang bermanja-manja dengannya. Tak ada lagi suara riang putri semata wayang yang mereka rindukan, Riyang Ambarwati.

Tatapan Aris menerawang jauh, tatkala mengenang saat terakhir dia mengantar putrinya di Stadion Kanjuruhan. Ya, di sanalah dia melambaikan tangan pada putrinya bersemangat menonton klub sepakbola kesayangannya, Arema FC versus Persebaya.

Tapi siapa sangka bahwa itu adalah lambaian tangan terakhir kepada putrinya. Karena, beberapa jam setelah itu, Riyang turut menjadi salah satu korban kerusuhan yang menelan 135 jiwa. Aris menerima kabar itu saat terbangun dari tidur, pukul 00.00 WIB dari kepala desa.

“Kedengaran saya itu kesenggol, jadi mungkin kecelakaan. Saya disuruh siap-siap sama di rumah, Pak Kades mau ambil. Pas itu saya mikir kok Pak Jamhuri (kepala desa) yang ambil. Ponakan saya suruh cek juga tidak boleh,” terang pria 43 tahun itu, melansir INews ID.

Betapa lemasnya dia, saat mendapati kepulangan putrinya dalam kondisi terbujur kaku. Wajah dan lehernya tampak membiru akibat gas air mata. Dadanya bergejolak, tak kuasa dia membendung air matanya. Riyang telah pergi selamanya, menyusul kakak pertamanya yang telah lebih dulu wafat pada 2013 lalu.

Aris juga bercerita bahwa putrinya itu sudah biasa menonton pertandingan sepakbola dan pulang tengah malam. Bahkan dia juga sengaja tidak mengunci pintu rumah pada malam hari saat Riyang menonton pertandingan. Agar dia dapat mudah masuk rumah saat pulang.

M Alfiansyah : “…Saya melihat ayah terjatuh”

Sementara itu, Bocah yang bercita-cita jadi polisi ini telah yatim piatu. Tidak ada lagi ayah dan ibu yang mendampingi dan melihatnya tumbuh dewasa. Kedua orang tuanya, M Yulianton (40) dan Devi Ratna Sari (30) menjadi korban tewas pada malam Tragedi Kanjuruhan. Akibat gas air mata yang ditembakkan oleh petugas gabungan kepolisian dan TNI.

Didampingi pamannya, Doni (43), M Alfiansyah menceritakan peristiwa memilukan itu. Saat kericuhan pecah karena Arema FC kalah, dia bersama orang tuanya sudah bergegas meninggalkan stadion. Ayahnya menggengam erat tangan Alfiansyah di tengah chaos penonton yang hendak menyelamatkan diri.

“Waktu mau ke bawah saya terjatuh, terus langsung berdiri. Itu masih sama ayah dan mama. Setelah saya berdiri saya didorong dari belakang dan saya melihat ayah terjatuh,” ucap lirih bocah 12 tahun ini, melansir VOI.

Setelah melihat ayahnya terjatuh, Alfiansyah tetap berusaha berjalan hingga berhasil keluar dari stadion. Doni menambahkan, mendiang Yulianton adalah Aremania sejati. Setelah menikah dan punya anak, dia sudah tidak lagi pergi menonton di stadion. Sedangkan istri dan anaknya, baru pertama kali.

“Almarhum sempat mengatakan ingin membahagiakan anak saya. Ternyata memang menyenangkan anak untuk terakhir kalinya,” kenang Doni.

“Bu….Rafi wes ga ono

Sumarsih masih begitu terpukul mengenang bagaimana putra ketiganya harus pergi mendahuluinya. Matanya terlihat sembab dan sayu. Meski Tragedi Kanjuruhan itu telah berlalu, namun dukanya masih terasa hingga kini.

Dia masih ingat, betapa antusiasnya Ibnu Muhammad Rafi hendak menonton pertandingan Arema FC versus Persebaya bersama saudaranya. Saat ketiga saudaranya memilih duduk di bangku VIP, Rafi memilih menonton dari tribun ekonomi karena ingin bersama kawan SMA-nya.

“Kata teman Rafi yang saat itu bersama, waktu itu yang mau masuk ke lapangan dihalau ke tribun. Setelah dari tribun, pintu keluarnya ditutup dan di tribun disemprot gas air mata,” terang Sumarsih.

Sontak, para penonton langsung berhamburan, begitu juga dengan Rafi dan teman-temannya. Mereka semua terpisah. Beruntung, ketiga anaknya yang lain berhasil menyelamatkan diri. Kakak pertama Rafi baru menyadari bahwa adiknya belum ketemu, langsung menghubunginya.

“Setelah itu saya telepon ponsel Rafi, tapi yang mengangkat perempuan. Dia suruh ke RSI Gondanglegi. Anak saya nomor satu dan dua langsung ke sana berboncengan,” terangnya, melansir Parapuan.

Sesampainya di sana, keduanya tidak berhasil menemukan adiknya di ruang perawatan. Dan dengan langkah berat, keduanya menuju ke kamar jenazah. Satu demi satu kantong jenazah dibuka, namun keduanya tak mengenali satupun.

“Karena di situ semua mukanya gosong, jadi gak jelas wajah adiknya dan agak bengkak,” lanjutnya.

Lalu, keduanya mengulangi pencarian dan membuka kantong jenazah lebih lebar untuk melihat pakaiannya. Hati kedua kakak Rafi mendadak mencelos tatkala dia mengenali pakaian dari salah satu jenazah itu.

“Bu, Rafi gak ono. Rafi meninggal korban Arema,” teriak anaknya dari ujung telepon.

Mendengar kabar itu, Sumarsih menjerit dan menangis. Dia tak mampu berkata-kata lagi, ketika putra ketiganya berpulang dan tak kembali lagi. Setahun berlalu, Sumarsih mencoba untuk ikhlas meski berat.

Editor : Intan Refa

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Check Also
Close
Back to top button

Radio


x