NewsTeknologi

Lebih Suka Curhat Sama Chatbot AI? Hati-hati…

ilustrasi chatbot AI. (pexels.com/Sanket Mishra)

CITY GUIDE FM – Kalian pernah mencoba curhat atau bercerita di chatbot AI? Bagaimana rasanya? Belakangan, ada beberapa riset yang menunjukkan fenomena baru. Di mana chatbot AI mulai digunakan sebagai kawan curhat.

Utamanya anak muda, mereka menganggap chatbot AI bisa memberikan solusi persoalan sehari-hari, teman diskusi atau menjadi konsultan. Malahan, ada sebagian pengguna yang mulai menjalin hubungan emosional dengan AI. Ada yang menganggapnya sebagai sahabat bahkan sampai kekasih.

Melansir The Conversation, Dosen Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran Dyana Chusnulitta Jatnika mengungkapkan mengapa chatbot AI seolah-olah dapat memahami perasaan kita.

Secara teknis, AI memang dirancang untuk memahami kebutuhan manusia. Lewat analisis data dan algorita pada setiap pola interaksi, preferensi hingga emosi user.

“Dengan teknologi Natural Language Processing (NLP), AI bisa memahami konteks percakapan dan merespon. Seolah-olah ia benar-benar memahami penggunanya,” jelasnya.

Nah, rasa aman dan dimengerti ini yang membuat banyak orang merasa nyaman dan mulai membuka diri kepada AI. Karena itu, Dyana mengingatkan bergantung pada keterikatan emosional dengan AI menyimpan sejumlah risiko.

Pertama, terputus dari relasi sosial. Ketergantungan emosional dengan AI berpotensi melemahkan kemampuan dan motivasi untuk bersosialisasi. Padahal bersosialisasi penting untuk kesehatan mental dan keseimbangan hidup.

AI juga bisa menimbulkan ekspektasi tidak realistis dalam menjalin relasi dengan orang lain bahkan bisa memperdalam kesepian.

Kedua, AI bisa manipulatif juga. Penelitian pada tahun 2024 menunjukkan bagaimana peran AI dalam marketing mampu memperkuat keterikatan emosional.

Ketika user intens berkomunikasi dengan brand tertentu, AI merekam pola dan preferensi mereka. Lalu AI merekomendasikan produk yang disesuaikan, seolah-olah memahami kebutuhan user. Hal ini dimanfaatkan untuk meningkatkan loyalitas dan mempengaruhi keputusan terhadap suatu produk.

Ketiga, kesehatan mental. Beberapa penelitian menunjukkan ketergantungan terhadap AI berpeluang menimbulkan gejala kecemasan, memperkuat isolasi sosial, hingga mengurangi resiliensi emosional. Ini dikhawatirkan dalam jangka panjang mampu melemahkan kemampuan manusia mengelola emosi.

Sehingga, AI justru malah bisa menciptakan kerentanan baru. Maka dari itu, sebagai pengguna, kita perlu memahami bagaimana AI bekerja dan memengaruhi emosi. Literasi emosional digital juga penting agar kita tidak hanya mahir menggunakan teknologi. Tapi juga menyadari dampaknya terhadap kehidupan sosial kita.

Editor : Intan Refa

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button