
CITY GUIDE FM, KOTA MALANG – Maria Septiani Sintia Koda, perempuan asal Ruteng, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores Nusa Tenggara Timur ini menjadi salah satu Kenshi (atlet Kempo) penyumbang medali emas terbanyak saat Porprov IX Jawa Timur 2025. Total ada 3 medali emas yang berhasil ia rebut.
Sintia itu berhasil unggul pada Kelas Embu solo putri Yudansha, Embu beregu putri dan Randori putri kelas 55-60 kg. Pencapaian ini tentu tidak ia dapatkan secara instan. Awalnya, Sintia baru mengenal bela diri Kempo saat masih duduk di bangku SMPN 1 Langke Rembong, Kabupaten Manggarai.
“Awal tahu Kempo dari kelas 1 SMP. Tahu karena yang melatih sendiri kepala sekolah, akhirnya kami siswa-siswi jadi kepengen ikut juga. Itu sekitar tahun 2015, umur 12-13 tahun,” kata Sintia.
Karena mulanya dia hanya ikut-ikutan, jadi Sintia tidak paham betul apa itu bela diri Kempo. Hanya saja selang beberapa waktu mendalami bela diri ini, sejak tahun 2015 sampai sekarang, ia mendapatkan banyak hal.
“Yang saya dapatkan dari kempo yaitu kedisiplinan dan kita anggotanya punya pendirian yang kuat mungkin bila dibandingkan yang tidak ikut bela diri,” lanjutnya.
Sejak saat itulah, Sintia konsisten berlatih Kempo saat sepulang sekolah masuk bangku kuliah. Kegemarannya mengikuti bela diri ini tentu tidak serta merta mendapatkan dukungan dari kedua orang tuanya.
Tidak jarang, orang tuanya memintanya untuk berhenti karena menganggap bela diri hanyalah untuk laki-laki. Tapi karena tekadnya yang kuat, akhirnya mampu meluluhkan hati orang tuanya. Terlebih saat dia mampu membuktikan prestasinya.
Saat berkuliah di Universitas Negeri Malang, anak kedua dari empat bersaudara itu mengaku sempat vakum selama beberapa waktu. Baru pada tahun 2022 saat memasuki semester 3, ia baru mendapat kabar dari gurunya semasa di Manggarai, Senpai Moses bahwa Kota Malang sedang membutuhkan atlet Kempo. Sejak saat itulah dia bergabung dan menorehkan prestasi untuk Kota Malang.
“Pengalaman waktu di NTT sering ikut Porprov se-NTT, lalu ikut kejuaraan nasional ke Jakarta, Jogja. Total keseluruhan saya dapat 7 medali, tapi ada juga cuma dapat sertifikat,” katanya.
Ia menjelaskan dalam bela diri Kempo, ada namanya Embu dan Randori. Embu itu lebih pada seni bela diri, sedangkan Randori cenderung pada pertarungannya.
“Di balik itu, saya baru tahu bahwa awalnya kita ngerasa tekniknya itu keras. Ternyata semakin tinggi tingkatan, semakin lembut tapi menyakitkan. Cara kuncinya lebih lembut tapi rasa sakitnya, lebih sakit. Kalau Randori itu tidak bisa diprediksi karena selain latih gerakan, juga latih strategi,” jelas Sintia.
Tapi sudah pasti, di balik prestasi yang dicapai tersebut ada kerja keras yang tak terlihat oleh publik. Ada konsistensi dan keteguhan prinsip.
tahun 2023 saya tidak langsung dapat emas, Waktu itu juara 3.
“Kalau kita mau menang, prinsipnya ya selain kau dituntut di tempat latihan, kau juga harus disiplin latihan di rumah. Saya latihannya, bangun pagi jam 4, lari jogging lanjut latihan teknik sampai jam 9. Sisanya buat kuliah. Apalagi waktu itu masih semester awal tugasnya menumpuk. Kemudian malam lanjut berlatih sampai jam 10-11 sama teman-teman. Sirkulasinya begitu terus,” tambah pengajar olahraga di SDK Santa Maria 3 ini.
Apalagi saat Porprov IX kemarin, latihannya benar-benar full satu tahun. Ditambah lagi skripsian dan mengajar renang juga. Bisa terbayang betapa kegiatannya dalam sehari benar-benar full kegiatan fisik.
“Yah ada titik kelelahan sih. Tapi ketika waktu istirahat kan ada satu hari, di pikiran saya harus juara, jadi nge-push diri sendiri. Jadi yang waktunya istirahat malah saya pakai buat latihan. Pikiran saya seperti ini, kalau saya istirahat, terus lawan saya latihan berarti saya harus lebih dari dia,” tegasnya.
Mengagumkan sekali bukan, semangat dan kerja keras Kenshi yang juga pelatih Kempo junior yang satu ini. Kegigihannya patut diacungi jempol meski selama ini tidak ada sponsor yang mendukung perjuangannya. Sintia meyakini, dengan adanya sponsor dalam pembinaan para atlet, itu akan sangat berarti dan semakin memacu semangat para Kenshi dalam menempa diri.
Reporter: Intan Refa




