Gejolak RUU TNI, Apa Jadinya TNI Pegang Jabatan Sipil?

CITY GUIDE FM – Gejolak penolakan RUU TNI terus bergaung. Parahnya, pembahasan isi UU No 34 Tahun 2004 ini berlangsung secara tertutup di hotel bintang lima, Senayan.
Melansir BBC, salah satu poin revisinya adalah prajurit TNI dapat menduduki jabatan di 15 lembaga atau institusi. Di mana sebelumnya, pada Pasal 47, TNI dapat menduduki 10 institusi.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyanggah pembahasan RUU TNI berlangsung secara tertutup. Politisi Partai Gerindra itu mengaku hanya ada 3 pasal yang mengalami perubahan.
Antara lain, batas usia pensiun TNI, koordinasi antara Kementerian Pertahanan dan TNI serta ketentuan prajurit menduduki jabatan sipil. Pada situasi ini, peneliti ISEAS Yusof Ishaq Insitute, Made Supriatna mengatakan budaya komando dalam militer tidak dapat masuk ke jabatan sipil yang membutuhkan konsensus dan deliberasi dalam pengambilan keputusan.
“Militer itu tidak pernah demokratis. Aturan militer itu adalah komando, hierarkis. Ini diperlukan ketika perang. Ibarat mesin, sekrup-sekrup itu harus kencang,” kata Made.
Contoh sederhananya adalah saat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak menanggapi kenaikan pangkat Sekretaris Kabinet Mayor Teddy Indra Wijaya menjadi letnan kolonel. Kata Made, Jenderal Maruli terlihat langsung marah dan kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah ‘jangan diperdebatkan’.
Karena alasan tersebut, ketika tentara masuk pada ranah sipil akan mempersempit peluang masyarakat sipil yang memiliki keahlian.
“Banyak masyarakat sipil sudah bekerja puluhan tahun, sudah tahu persis apa yang terjadi bahkan sudah menempuh pendidikan ke luar negeri untuk menjalani pelatihan atau gelar sarjana. Tiba-tiba masuk kolonel atau brigjen yang tidak tahu apa-apa,” kata Made.
Pendek kata, meritokrasinya tidak jalan. Tidak hanya itu, Pengamat Militer Jaleswari Pramodhawardani menambahkan penambahan tugas di luar domain pertahanan negara berpotensi menciptakan beban ganda kontraproduktif.
“Diversifikasi tugas semacam ini, alih-alih meningkatkan efektifitas. Dapat justru mendistorsi fokus utama TNI sebagai kekuatan pertahanan,” kata Jaleswari.
Editor : Intan Refa