Gawat! 74 Kabupaten Kota Alami Rawan Pangan
CITY GUIDE FM, KOTA MALANG – Para pakar tata kelola irigasi mengungkap data mengejutkan tentang penanganan krisis iklim, air dan pangan, pada Kamis (19/10) siang. Dalam workshop “Tata Kelola Irigasi bagi Penguatan Ketahanan Nasional”, Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas RI Jarot Indarto mengatakan bahwa indeks rawan pangan beberapa kota di Jawa Timur tergolong tinggi.
“Tingkat kerawanan pangannya mencapai 13,24 persen. Produktivitas lahan di Jatim juga rendah. Lebih besar konsumsi dari pada produksinya, mencapai 89,54 persen. Kita harus bekerja sama mengatasi kerawanan pangan di Jatim,” terang Jarot.
Dalam kesempatan itu, Jarot menawarkan beberapa model mengatasi kerawanan pangan. Antara lain menggunakan regionalisasi sistem pangan, transformasi tata kelola irigasi, reformasi subsidi pupuk dan membuat satu data pangan nasional. Begitu pula Deputi II Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Badan Pangan Nasional Kementerian Pertanian Dr Drs Nyoto Suwidnyo mengeluarkan data mengejutkan.
Baca juga :
“Kita benar-benar mengalami krisis pangan, karena sekarang ini ada 74 kabupaten/kota atau 14 persen mengalami rawan pangan,” paparnya.
Melihat fakta ini, Nyoto prihatin karena para petani tidak bisa berbuat banyak. Sebab 16 juta orang merupakan petani bermodal kecil dan berpendidikan setingkat SD. Sementara itu, Direktur Sumberdaya Air Bappenas RI Ewin Sopian Winata juga ikut menimpali.
“Dari 300 bendungan yang ada di negeri ini, hanya meng-cover 12 persen saja di area irigasi,” kata Ewin.
Akibatnya, terjadi defisit air. Padahal, 80 persen air irigasi itu untuk pertanian dalam rangka menjamin ketahanan pangan. Sementara itu Guru Besar Teknik Pengairan Universitas Brawijaya Prof Dr Moh Bisri juga menekankan agar kita fokus memecahkan masalah irigasi dan krisis pangan di wilayah hilir.
“Irigasi di wilayah hulu, tidak ada masalah. Di wilayah tengah, juga tidak ada masalah. Akar masalahnya justru di hilir. Saya minta kita semua fokus memecahkan masalah di hilir,” ujar Prof Bisri.
Akar masalah di hilir erat kaitannya dengan macetnya pelembagaan himpunan petani pengguna air. Menurutnya, perlu penyegaran pengurus HIPPA, karena mereka bertahun-tahun tidak mau diganti.
Jangan lagi ada alih fungsi lahan
Menanggapi penjelasan Prof Bisri, Guru Besar Sosiologi Universitas Brawijaya Prof Sanggar Kanto mewanti-wanti agar jangan terjadi lagi alih fungsi lahan produktif untuk kepentingan non pertanian. Sebagaimana peringatan dari Sekjen Kementerian PUPR Ir Mohammad Zainal Fatah, terkait rent seeker yang mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian marak di desa-desa.
“Untuk itu, saya minta agar modal sosial diperkuat. Misalnya, HIPPA perlu diperkuat melalui bounding, bridging, dan linking,” ujar Zainal.
Guru Besar Agronomi Universitas Brawijaya Prof Dr Ir Yogi Sugito juga memperingatkan agar menghentikan alih fungsi lahan di desa-desa sekarang juga. Dia begitu prihatin karena seakan pemerintah daerah berjalan sendiri-sendiri.
“Saya minta yang di pusat, fokus mengatasi masalah lahan marginal kritis. Misalnya dengan melakukan gerakan diversifikasi pangan dan melestarikan sumber daya air di desa-desa,” papar Prof Yogi.
Kades Kedungrejo Kecamatan Pakis Betri Indriati, Kades Sumberdem Kecamatan Wonosari Purwati dan Kades Sukodono Dampit Suharto sepakat untuk menjaga wilayahnya. Supaya tidak terjadi lagi alih fungsi lahan irigasi teknis.
Namun yang masih menjadi masalah adalah dalam situasi krisis ini masyarakat kota terlalu konsumtif. Buktinya kita masih memproduksi 1/3 sampah sisa makanan. Di sini, terjadi kesenjangan nasional, karena jumlah konsumsi lebih banyak daripada jumlah produksi pangan. Akibat semua itu, maka terjadi kerawanan pangan.
“Untuk mengatasi itu, mari kita bergerak bersama untuk menukseskan program Badan Pangan Nasional yaitu stop boros pangan,” tutup Dr Muzakki MSi, Ketua SDGs Center UB.
Editor : Intan Refa