Budaya dan PariwisataNews

Estetika Kayutangan Heritage Dikalahkan Billboard Komersial

Penampakan billboard Kayutangan Heritage. (Foto: Heri Prasetyo)
Penampakan billboard Kayutangan Heritage. (Foto: Heri Prasetyo)

CITY GUIDE FM, KOTA MALANG – Pemerhati bangunan bersejarah Budi Fathony mengkritisi kondisi Kayutangan Heritage yang kian mengikis identitas dan nilai warisan budayanya. Ia menilai, Pemkot Malang gagal melindungi kawasan tersebut dari gangguan reklame atau billboard yang tidak terkendali.

Terlihat di sana, barisan billboard berukuran besar sepanjang koridor Kayutangan menjadi seolah menutupi unsur heritage kawasan tersebut. Kata Budi, pemasangan billboard-billboard komersial di sepanjang koridor Kayutangan merupakan bentuk ketidakpedulian terhadap warisan arsitektur yang bernilai sejarah.

Menurutnya, hal ini terjadi akibat lemahnya regulasi dan pengawasan. Sangat tidak memberikan kesan peduli. Mereka hanya euforia agar produk iklannya laku.

“Padahal, sama sekali orang sudah jenuh melihat tampilan billboard-billboard yang cenderung mengaburkan nilai heritage.” tegas Fathony, Saat dikonfirmasi via telp pada , Rabu (3/12/2025)

Fathony, yang pernah terlibat langsung sebagai “kepanjangan tangan” pemerintah dalam memberikan arahan pelestarian, menyoroti pergeseran fungsi kawasan. Wilayah yang seharusnya berbasis “kampung” dengan tiga home base, kini berubah menjadi koridor komersial akibat dominasi reklame di sepanjang jalan.

“Kami sudah berprediksi, jangankan yang di koridor, di kampung Kayutangan sendiri sudah tidak memiliki level heritage,” ungkapnya dengan prihatin.

Akhirnya Kayutangan menjadi kampung kuliner, bukan kampung heritage Kayutangan.

“Ini salah besar,” tegasnya.

Pemerhati yang pernah duduk dalam Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) periode 2016-2020 itu menilai, akar masalahnya adalah ketiadaan aturan teknis yang jelas tentang pemasangan iklan di kawasan cagar budaya.

Meski Kota Malang telah memiliki landasan hukum kuat, yaitu UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 dan Peraturan Daerah (Perda) Cagar Budaya Kota Malang Nomor 1 Tahun 2018, implementasinya masih lemah.

“Apa arti sebuah Perda, apa artinya Undang-Undang Cagar Budaya? Ternyata itu adalah macan ompong dan bisa dipermainkan,” kritik Fathony.

Ketiadaan regulasi spesifik ini, menurutnya, mencerminkan ketidaksiapan pemerintah. Padahal, seharusnya tidak sulit untuk menciptakan billboard yang selaras dengan nuansa tempo dulu.

“Itu sangat mudah sekali, itu kreativitas-kreativitas desainer,” ujarnya.

Ia mencontohkan, buku “Malang Tempo Doeloe” bisa dijadikan acuan untuk font, karakter, dan warna iklan agar tidak merusak emosional dan wajah heritage kawasan. Budi juga mengkritik lemahnya koordinasi antarpihak.

Program seperti Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) yang masuk ke kawasan itu tidak pernah berkonsultasi dengan para penggagas konsep Kayutangan Heritage. Akibatnya, muncul ornamen dan lighting (pencahayaan) dengan nuansa yang tidak edukatif, bahkan terkesan nuansa Jogja.

“Saya sangat prihatin, sangat tidak setuju dengan adanya lighting koridor dengan nuansa Jogja,” tegasnya.

Lebih dalam, Fathony yang kini tidak lagi berada di TACB periode berjalan, menyoroti kemunduran peran lembaga tersebut.

“Kelemahan TACB saat ini mengalami kemunduran, tidak memberikan satu edukasi. Apa peran TACB sekarang jika berbagai macam muncul pengaburan tentang bagaimana heritage?” tanyanya.

Ia menyarankan pemerintah harus segera membuat peraturan teknis yang tegas tentang standar desain, karakter, dan tata cara pemasangan billboard di kawasan heritage. Tanpa itu, kekacauan estetika akan terus berlanjut.

Tidak hanya itu, Budi mendesak agar ada pertemuan tiga pilar yaitu pemerintah (dalam hal ini TACB), komunitas atau kelompok sadar wisata, serta para pengusaha. Menurutnya, kelompok sadar wisata di Kampung Kayutangan saat ini dinilai belum mampu menata kawasan, bahkan di dalam kampungnya sendiri.

Hanya yang penting ke sana hanya makan, selfie. Padahal Kayutangan merupakan representasi visual masa lalu Kota Malang era kolonial Belanda. Ancaman ini bukan hanya soal fisik bangunan, tetapi juga penghancuran secara perlahan terhadap “genius loci” atau roh tempat yang menjadi identitas unik kawasan tersebut.

Reporter: Heri Prasetyo

Editor: Intan Refa

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button