Blues Spirit Sesi 66 : Antara Gercos, Golput dan Bumbung Kosong
Kita semua tahu ada gerakan di Jakarta. Namanya Gercos, Gerakan Coblos Semua. Ini bentuk lain dari golput.
Kalau golput itu cuek, apatis. Gercos sebaliknya, bergerak, antusias.
Tapi dua-duanya merupakan ekspresi dari sebagian rakyat yang protes akibat ketidakcocokan. Gercos ini baru. Muncul pada Pilkada serentak yang diikuti 545 daerah se-Indonesia ini.
Merupakan model perlawanan oleh sebagian warga. Karena, calonnya yang dianggap paling diingini rakyat, diblok, tidak diberi tiket oleh partai untuk maju Pilkada.
Elite politik dianggap bermain, menggunakan kekuasaan untuk kelanggengan kekuasaannya. Merekayasa dengan memberi insentif dan atau injak kaki untuk kepentingan dinasti dan kroninya.
Bukan kepentingan atau keinginan rakyat untuk kesejahteraan dan masa depan bangsa.
Nah, lalu bisakah gercos atau golput menang? Tidak. Karena tidak akan pernah bisa menang. Karena tujuannya memang bukan untuk menang secara fisik kekuasaan.
Gerakan itu untuk mengirim pesan dan menulis sejarah perjalanan politik negeri ini. Bahwa pada kurun rezim ini, ada turbulensi politik yang begitu dahsyat.
Penjaga konstitusi pun berbuat tidak etis. Ada krisis etika, moral, budi pekerti yang memerosotkan demokrasi dan rasa keadilan masyarakat.
Ekosistem ekonominya tidak berhasil mengentaskan kemiskinan.
Nah, kalau pesan seperti ini sampai, gercos dan golput itu telah berhasil. Menang secara moral.
Gercos dan golput berbeda dengan bumbung kosong. Kalau bumbung kosong, posisinya diberlakukan seolah kontestan. Muncul bersanding dengan kandidat dalam kertas coblosan.
Lalu, kalau bumbung kosong yang kita coblos dan hasil suaranya melebihi 50 persen, bumbung kosong yang menang. Maka, kepala daerahnya akan dikirim oleh pemerintah pusat layaknya Pj, penjabat, seperti yang kita kenal selama ini.
Bumbung kosong pernah menang di Kota Makassar. Itu sebabnya, Wali Kota Makassar dalam lima tahun terakhir ini adalah ASN kiriman dari pusat.
Akan ada 41 bumbung kosong pada pilkada serentak ini. Karena calon tunggalnya 41. Termasuk Kota Pasuruan dan Surabaya. Mereka itulah lawan bumbung kosong.
Melawan bumbung kosong harus menang 50 persen lebih. Tapi kalau bumbung kosongnya yang menang, akan dilaksanakan coblosan lagi pada bulan September 2025 mendatang.
Yang harus menang 50 persen lebih ini, berlaku juga khusus untuk Pilkada Jakarta. Karena Jakarta adalah Daerah Khusus Ibukota.
Kelak kalau ibukotanya pindah ke IKN, Jakarta masih tetap menjadi daerah khusus. Namanya DKJ, Daerah Khusus Jakarta.
Masih ada ketentuan lain pada Pilkada Jakarta itu. Kalau suara tertingginya ada pada dua pasangan, pemenangnya dipilih yang suaranya menyebar rata di semua dapil.
Begitulah, maka Pilkada Jakarta selalu berpotensi dua putaran. Untuk daerah lain, yaitu 544 daerah pemilihan, yang menang adalah yang punya suara tertinggi.
Malang Raya beruntung, tidak ada cakadanya yang melawan bumbung kosong. Cakadanya lebih dari satu. Untuk itu manfaatkan sebaik mungkin.
Meskipun calonnya adalah… ya… yang ada ini, kita terima saja dulu. Anggaplah ini given. (Kelak diperjuangkan lebih baik dan beradab).
Jadi pilihlah salah satu yang menurut kita paling baik. Pilih dengan niatan baik, jangan terpengaruh oleh money politic atau insentif lainnya. Walaupun itu dari calon yang kita suka.
Kita catat saja janji politiknya. Jadikan sebagai kontrak politik. Lalu kita kawan dan bantu untuk diwujudkan, untuk kesejahteraan warga dan daerah kita.
Kalau semua daya upaya ini kita lakukan dengan baik dan bermoral, Insya Allah pemenangnya akan malu untuk nyolong dan berkhianat.
Percayalah, pemenang itu, betapapun buruknya, itu juga sudah kehendak Tuhan. Pasti akan ada hikmahnya. Itulah nahkoda atau pilot yang akan memimpin perahu besar daerah kita.
Imawan Mashuri
Arek Malang, Founder Arema Media Group, JTV dan beberapa media di Indonesia