Blues Spirit Sesi 62 : Putusan MK, Pembangkang dan Demo
Apa kabar perasaan sampean semua pekan ini? Apakah sudah sedikit longgar, setelah kita lewati waktu yang mengaduk-aduk rasa.
Mulai Selasa, 20 Agustus lalu, saat kado Kemerdekaan dipersembahkan oleh Mahkamah Konstitusi. Berupa putusan tentang electoral threshold.
Apakah rasa itu seperti pintu yang dibuka, sehingga nafas kita menjadi lega. Karena lorong gelap yang mengungkung, yang menyekap selama ini, kini dimasuki cahaya, dialiri udara.
Demokrasi yang berkeadilan dapat nafas baru, menggeliat dari sumbatan. Hampir saja pintu itu tertutup lagi, karena memang buru-buru ada yang mau menutup.
Tapi mahasiswa hebat!
Pelajar-pelajar hebat, pemuda-pemuda hebat, senior-senior kampus hebat, netizen hebat, artis-artis hebat.
Rakyat kalau bergerak atas dasar nuraninya memang hebat. Mereka turun ke jalan serempak. Netizen mewarnai seluruh media sosial.
Nyanyian-nyanyian almamater, orasi-orasi, yel-yel bergemuruh. Merinding kita!
Lantas kita lihat, pagar gedung DPR roboh di Senayan, di Semarang, Jogja dan beberapa daerah pun hangat. Sampai Malang Raya juga bergerak.
Malang menggugah sedikit soal Kanjuruhan. Semangat itu mirip awal-awal gerakan Reformasi 25 tahun silam. Mereka mengirim pesan, ini negara hukum.
Kekuasaan harus tunduk pada hukum. Bukan negara kekuasaan yang memperalat hukum untuk kelanggengan kekuasaan.
Akhirnya pintu itu tetap terbuka. Rencana pembangkangan atas putusan Mahkamah Konstitusi, batal!
Tapi selesaikah? Belum tentu.
Karena kita telah dipragmatiskan keadaan selama ini. Oknum calon mencari cukong atau cukong membeli oknum calon.
Lalu pemilih juga coba dibeli, termasuk oknum lainnya yang bisa memuluskan dan memenangkan, disuap, dibayar. Mereka sibuk dagang sapi politik seperti ini. Bukan pada gagasan memajukan daerah, bukan untuk idealisme menyejahterakan rakyat.
Nah, sekarang para pengijon yang tadinya sudah mengatur cukup satu calon pasti, dilawankan dengan calon boneka, sekarang tentu sedang menata ulang. Bagaimana menghadapi calon yang tidak dikehendakinya yang sekarang bisa maju akibat putusan MK itu?
Tentu pragmatisme pemilihlah yang akan dirayu, dibeli, disogok. Karena seringkali pemilih memang tidak kenal calon akibat buruknya sosialisasi.
Calon pemilih itu kadang-kadang berpikir sama-sama tidak kenal, ya sudah. Praktis-praktis saja, pilih yang mau kasih uang. Tapi apakah harus terus begitu?
Nyogok itu moral. Penyogok itu pasti mau disogok. Pembeli suara pasti juga mau jual jabatannya. Pemerintahannya akan sogok menyogok, melanggengkan kebusukan.
Lawan!
Imawan Mashuri
Arek Malang, Founder Arema Media Group, JTV dan beberapa media di Indonesia.