Apa Itu Dwifungsi TNI? Mengapa Publik Bereaksi Keras?

CITY GUIDE FM – Pengesahan RUU TNI pada Kamis (20/3/2025) terus memicu aksi demonstrasi di sejumlah daerah. Mulai dari Jakarta, Bandung, Solo hingga Malang. Mereka menyerukan kekhawatiran terhadap RUU tersebut yang salah satu pasalnya menambah jabatan sipil untuk militer aktif yang berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI.
Melansir BBC, konsep Dwifungsi TNI bertautan dengan pidato alm Jenderal Abdul Haris Nasution pada 11 November 1958 silam di Akademi Militer Magelang. Pada saat itu, konsep dwifungsi merupakan ‘jalan tengah’ bagi TNI untuk berperan dalam bidang sosial dan politik. Di sampin fungsi pertahanan dan keamanan.
Pada 1960, Nasution mulai memperkenalkan istilah ini dan diterima secara luas setelah Seminar Angkatan Darat pada 1965. Sebagaimana tulisan Bilveer Singh dalam bukunya Dwifungsi ABRI: Asal usul, Aktualisasi dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan (1996).
Tapi sebenarnya gagasan ‘Dwifungsi’ militer sudah ada jauh sebelum pidato Nasution. Dalam buku The Army and Politics in Indonesia, Harold Crouch menyebutkan selama masa revolusi, rakyat memandang peran angkatan bersenjata penting. Bahkan lebih penting dari peran kalangan politisi sipil, dalam mengejar tujuan bangsa yaitu kebebasan dan kemerdekaan.
Hal ini menyebabkan pimpinan militer merasa sudah ada sebelum republik. Serta berani mengeklaim bahwa mereka juga memiliki hak berpolitik dan peran sosial yang sama dengan kekuatan lain. Meski begitu, ‘Dwifungsi’ pada masa revolusi berbeda dengan konsep ‘jalan tengah’ Nasution.
Pada masa revolusi kemerdekaan, dwifungsi militer fokus pada upaya mempertahankan kemerdekaan dan menjaga integritas negara-bangsa yang belum lama lahir. Sementara konsep dwifungsi ‘jalan tengah’ Nasution secara ideologis membuka jalan bagi militer untuk berpolitik, mencampuri keamanan dalam negeri dan kehidupan sipil lainnya.
Sementara itu, Direktur LSM Imparsial Ardi Manto Adiputra berpendapat masyarakat punya trauma atas militerisme dan penerapan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. Praktik ini berdampak pada berkurangnya jatah warga sipil di bidang pemerintahan karena banyaknya anggota ABRI yang mendominasi pemerintahan.
Puncaknya, di era 1990-an, anggota ABRI memegang peranan kunci di sektor pemerintahan. Mulai dari bupati, wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, pimpinan perusahaan milik negara, peradilan, hingga menteri di kabinet Soeharto.
Dalam buku Salim Said berjudul “Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia, 1958-2000”, selama Orde Baru, Korem, Kodim, Koramil, dan Babinsa telah terlibat dalam politik praktis. Terutama untuk menggalang kekuatan dalam pemilu, pencalonan bupati, camat atau kepala desa.
“Tragedi Tanjung Priok itu kan salah satu protes masyarakat sipil yang direspons dengan cara militer oleh pemerintah,” kata Ardi.
Tragedi pada tahun 1984 ini menyebabkan 23 orang meninggal akibat bentrok antara warga dengan Babinsa atau Bintara Pembina Desa. Saat ini, militer turut terlibat dalam pengamanan objek strategis nasional atau proyek strategis nasional.
“Dalam praktiknya kebijakan dan pendekatan keamanan itu sudah melahirkan berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Ardi.
Editor : Intan Refa