Budaya dan PariwisataNews

Aktivis Lingkungan Desak Pemkot Batu Rumuskan Perda Lahan Hijau dan Sumber Air

Sumber mata air Cinde di Bumiaji yang sudah ada sejak zaman Belanda. (Foto: Istimewa)
Sumber mata air Cinde di Bumiaji yang sudah ada sejak zaman Belanda. (Foto: Istimewa)

CITY GUIDE FM, KOTA BATU – Kawasan lereng Gunung Arjuno, khususnya di Desa Bumiaji dan sekitarnya, tengah menghadapi tekanan alih fungsi lahan yang semakin masif. Lahan pertanian yang semula menjadi ruang hijau dan penyangga ekosistem, mulai ramai bangunan kafe dan tempat usaha serupa. Terutama dalam dua tahun terakhir pasca pandemi COVID-19.

Anggota Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) Rully Wicaksono Hardoko Kusumo mengungkapkan maraknya pembangunan di area terbuka hijau tersebut berisiko menurunkan debit air. Bahkan mematikan sejumlah sumber mata air penting. Bahkan sejumlah sumber air dilaporkan mulai menunjukkan tanda-tanda kekeringan.

Padahal, Desa Bumiaji diketahui memiliki lebih dari 25 sumber mata air aktif. Termasuk Sumber Cinde yang sejak era kolonial Belanda menjadi salah satu penyuplai air utama untuk wilayah Malang Raya melalui Perum Jasa Tirta.

Ironisnya, hingga saat ini belum ada peraturan daerah (Perda) di Kota Batu yang secara tegas mengatur perlindungan lahan hijau dan sumber mata air. Meskipun sebagian besar lahan memang merupakan hak milik masyarakat.

“Kami mendorong pemerintah desa dan DPRD Kota Batu untuk segera menyusun regulasi perlindungan sumber mata air dan lahan hijau. Meski itu tanah warga, harus ada batasan dan perlindungan agar pembangunan tidak merusak keseimbangan alam,” kata Rully.

Ia juga menyoroti minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya lereng Arjuno sebagai penyangga air bagi Malang Raya. Menurutnya, edukasi masyarakat dan perlindungan berbasis kebijakan harus berjalan beriringan.

“Warga Malang Raya harus tahu, air yang mereka pakai setiap hari bersumber dari lereng Arjuno, Welirang dan gugusan Gunung Putri. Jangan sampai karena pembangunan yang tidak terkendali, kita kehilangan sumber daya vital ini,” lanjutnya.

Di sisi lain, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur mengaku telah menyusun kajian dan catatan kritis terhadap regulasi tata ruang di Kota Batu sejak empat tahun lalu. Koordinator WALHI Jawa Timur, Wahyu Eko Setyawan menilai revisi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hanya menjadi dalih bagi para elite untuk memperluas eksploitasi ruang.

“Kami menemukan bahwa Perda RTRW Nomor 7 Tahun 2022 dan Perwali Nomor 7 Tahun 2024 tentang RDTR Kota Batu justru membuka ruang eksploitasi besar-besaran,” ujarnya.

Pada Perda RTRW terbaru hanya mencantumkan kawasan perlindungan setempat di Bab I Pasal 1 dalam bagian ketentuan umum. Namun tidak memiliki pasal khusus yang mengatur secara tegas mekanisme perlindungannya.

“Kawasan konservasi sebagaimana disebut dalam Pasal 24–25 Perda itu hanya sekadar ‘cari aman’, karena menempelkan frasa konservasi pada wilayah yang sejak awal memang sudah berstatus kawasan lindung,” tutup Wahyu.

Reporter: Asrur Rodzi

Editor: Intan Refa

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button