“Tambang Emas, Ra Ritek!”, Film Piala Citra yang Rekam Penolakan Warga Trenggalek

CITY GUIDE FM, KOTA MALANG – Tak seperti biasanya, pelataran Caramelo Book and Coffee pada Senin malam (1/12) tampak lebih ramai. Puluhan orang memenuhi teras kafe yang berada di Jalan Kedawung, Kecamatan Lowokwaru, untuk menyaksikan pemutaran film dokumenter “Tambang Emas, Ra Ritek!”.
Sebuah dokumentasi yang merekam penolakan warga terhadap rencana eksplorasi tambang emas di Kabupaten Trenggalek. Film ini menampilkan beragam suara masyarakat mulai dari petani, nelayan, akademisi, pecinta alam, pemuda, hingga ibu rumah tangga. Semua muncul dalam narasi yang menggambarkan penolakan kolektif terhadap rencana tambang seluas 13 ribu hektare tersebut.
Wahyu Agung Prasetyo atau Wahyu AO, produser sekaligus wartawan lokal menjelaskan bahwa proses penggarapan film ini telah dimulai sejak 2021. Kesehariannya sebagai jurnalis membuatnya akrab dengan keresahan masyarakat Trenggalek mengenai potensi dampak tambang.
“Film ini menceritakan alasan mengapa warga Trenggalek tidak butuh tambang emas. Judulnya ‘Tambang Emas, Ra Ritek’, yang berarti ‘tidak usah’ atau ‘tidak butuh’. Warga yang bercerita di film ini ada petani, nelayan, perempuan, anak muda, dan kelompok agama,” jelasnya.
Pada Oktober lalu, Wahyu bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengirimkan film tersebut ke Festival Film Indonesia. Hasilnya, dokumenter ini masuk nominasi dan berhasil memenangkan Piala Citra sebagai Film Dokumenter Panjang Terbaik.
“Yang lebih penting dari penghargaan ini adalah bagaimana film ini diputar di 9 dari 14 kecamatan yang masuk wilayah konsesi tambang di Trenggalek,” tambahnya.
Distribusi film ini dilakukan melalui pemutaran sederhana di berbagai desa, disertai diskusi bersama warga. Wahyu mengaku sengaja tidak merilis film tersebut di YouTube atau bioskop agar dapat merekam secara langsung dampak dan respon masyarakat.
“Dampak setelah warga menonton film itu penting. Itu yang perlu kami arsipkan,” katanya.
Dalam diskusi malam itu, seorang ibu rumah tangga mengaku terkejut melihat bagaimana warga di kampung halamannya mampu bersikap kritis dan vokal dalam menyampaikan penolakan.
“Pengalaman hidup di Trenggalek, banyak warga sangat taat pada pemerintah. Saya sendiri kaget kenapa banyak yang berani protes,” ujarnya.
Di kesempatan yang sama, mahasiswa pascasarjana asal Trenggalek sekaligus mantan anggota Malang Corruption Watch Adi Susilo menceritakan pengalamannya mengedukasi para petani tentang dampak tambang.
“Jangan remehkan orang desa. Mereka akan paham ketika kita jelaskan pelan-pelan. Dan kalau sudah protes, mereka bisa melawan dengan berbagai cara,” jelasnya.
Sementara itu, akademisi Asrofi yang meneliti dampak tambang menegaskan bahwa eksploitasi tambang sering kali tidak memberikan manfaat signifikan bagi daerah.
“Tidak usah jauh-jauh bahas Freeport di Papua. Di tambang Tumpang Pitu, Banyuwangi saja, masih banyak jalan rusak, padahal sudah banyak emas yang dihasilkan dari sana,” ungkapnya.
Reporter: Asrur Rodzi




