Ruang Publik Jadi Rawan Pelecehan Perempuan?

CITY GUIDE FM, IDJEN TALK – Belakangan cukup santer pemberitaan seputar pelecehan seksual terhadap perempuan. Mulai dari pelecehan yang terjadi di KRL, pelecehan yang dilakukan oleh guru besar farmasi UGM terhadap puluhan mahasiswinya. Serta yang paling baru dan sangat mencengangkan adalah kasus pemerkosaan oleh dokter PPDS anestesi kepada perempuan penunggu pasien setelah sebelumnya menyuntikkan obat bius.
Melihat sejumlah kasus miris ini, Ketua Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LP3A) UMM Dr Yulist Rima Riandari menjelaskan biasanya pelecehan terjadi karena ada kesempatan. Sehingga langkah awal berupa edukasi juga penting pada semua kalangan mulai dari anak-anak.
“Saat sudah teredukasi, harapannya bisa meningkatkan awareness soal jenis pelecehan seperti apa saja. Maka bisa mencengah tindakan pelecehan itu,” kata Yulist.
Sementara Dosen Psikologi Universitas Merdeka Malang Al Thuba Septa Priyanggasari menambahkan bahwa perilaku pelecehan tidak hanya seksual atau fisik, tapi juga verbal. Semua bentuk pelecehan itu memiliki dampak yang berbeda. Ada jangka pendek, menengah sampai jangka panjang.
“Contohnya dampak setelah mengalami pelecehan seksual, biasanya membuat korban freezing atau membeku. Artinya korban merasa bingung sesaat dan tidak bisa menanggapi secara responsif kondisi yang menyerang mereka,” kata Septa.
Selanjutnya, kejadian tersebut bisa juga membuat trauma bahkan dalam kondisi tertentu mengakibatkan korban menarik diri dari lingkungan sosial sampai mengalami post traumatic disorder. Hal itulah yang mengakibatkan dari banyaknya kasus seksual, hanya ada 15 sampai 20 persen saja yang terdata. Karena korban tidak bisa langsung mengambil tindakan. (NURUL FITRIANI)
Editor : Intan Refa