NewsPeristiwa dan Kriminal

Ketika Jeritan Tertutup Lautan Asap di Stadion Kanjuruhan

saat aparat menembak gas air mata ke tribun (sumber foto : BBC)
saat aparat menembak gas air mata ke tribun (sumber foto : BBC)

CITY GUIDE FM, KABUPATEN MALANG – Malam itu, tak ada yang menyangka bahwa kekalahan Arema FC atas Persebaya, harus ditebus dengan ratusan nyawa yang meregang begitu saja. Jika saja gas air mata itu tidak ditembakkan, mungkinkah kejadiannya akan berbeda? Mungkin Gate 13 Stadion Kanjuruhan tidak akan berubah menjadi kuburan massal Aremania.

Bagi korban selamat Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 lalu, masih terekam jelas bagaimana pertandingan itu masih berlangsung normal awalnya. Saat kick off mulai pada pukul 20.00 WIB, baik Arema FC maupun Persebaya berusaha menjebol gawang. Hingga tercipta skor seri, dua sama.

Memang, sejak babak pertama, percikan kericuhan sudah tampak di sejumlah tribun. Tapi itu tidak berlangsung lama. Situasi di tribun kembali memanas pada babak kedua, ketika Arema FC semakin tertinggal dan berbuah kemenangan Persebaya dengan skor 3-2.

Baca juga :

Usai wasit meniup peluit panjang, kepolisian segera mengawal Persebaya ke ruang ganti. Sementara, pemain Arema FC tertunduk lesu dan mendatangi tribun untuk meminta maaf pada Aremania. Satu dua penonton tampak turun ke lapangan mengutarakan kekecewaannya.

Menurut kesaksian Fahryanto, saat pemain Arema merangkul penonton, polisi datang menghalaunya dengan menarik baju dan memukul sampai jatuh. Akibat tindakan represif ini, memicu penonton lainnya turun, bahkan melompati pagar pembatas tribun setinggi 6 meter.

“Di lapangan mereka bentangin poster, bentrok dengan polisi dan menolong rekan mereka yang terluka,” kata Fahryanto, melansir Kompas.

Setelah ratusan penonton berhamburan ke tengah lapangan, tim kepolisian mundur dan mengeluarkan anjing pelacak. Menurut saksi lain, Dipo, saat itulah dia melihat polisi menembakkan gas air mata ke lapangan sebanyak 4 kali.

“Beberapa massa ada yang mundur, tapi ada juga yang melawan,” kata Dipo.

Selang beberapa menit kemudian, polisi kembali menembakkan gas air mata antara ke tribun 10 sampai 14. Mungkin sekitar 3 tembakan. Dalam hitungan detik, kondisi tribun sudah tenggelam dalam asap putih.

“Di tribun 12 itu sudah tidak kelihatan orang. Semua putih, hanya samar dan bayangan saja,” kata Fahryanto.

Gelombang kepanikan

Seorang saksi lain, Chandra menggambarkan kepanikan yang terjadi setelah tembakan itu. Ribuan orang berdesakan, saling dorong untuk menyelamatkan diri.

“Anak kecil menangis, perempuan pingsan, jeritan di mana-mana. Di kamar mandi pintu 13 saya lihat dua laki-laki terkapar tidak bernyawa. Mungkin kekurangan oksigen. Saya lihat ibu-ibu gendong anak balitanya, sambil keluar air dari hidung dan mata,” kenang Chandra.

Fahryanto terngiang-ngiang suara jeritan kesakitan, anak kehilangan orang tua dan teriakan orang tua yang terpisah dengan anaknya.

“Ada ibu pingsan sambil gendong anaknya. Di sebelahnya juga ada anak laki-laki pingsan. Lalu saya juga dengan banyak orang tua berteriak ‘di mana anakku, di mana anakku’. Di kamar mandi juga ada tiga sampai lima orang tergeletak. Saya trauma membayangkan itu,” terang Fahryanto.

Kondisi mencekam juga terjadi di luar Stadion Kanjuruhan, di mana terjadi insiden pelemparan batu terhadap mobil polisi dan saling pukul. Baik Fahryanto, Dipo maupun Chandra dengan kompak mengatakan insiden chaos itu disebabkan oleh gas air mata.

Menurut mereka, gas air mata ini yang memicu gelombang kepanikan, sesak napas hingga terinjak-injak suporter lain. Sementara menurut polisi, tembakan itu diluncurkan karena massa tidak mengindahkan peringatan. Selain itu banyak Aremania yang juga menyerang pemain dan aparat. (fay)

Editor : Intan Refa

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button

Radio



x