KesehatanNews

Dinkes Kota Batu Ingatkan Dampak Sistemik Akibat Sound Horeg

Sebuah karnaval yang menyuguhkan sound horeg di Malang. (tangkapan layar video tiktok.com/bolohoregofficial)
Sebuah karnaval yang menyuguhkan sound horeg di Malang. (tangkapan layar video tiktok.com/bolohoregofficial)

CITY GUIDE FM, KOTA BATU – Pemerintah Provinsi Jawa Timur resmi memberlakukan pembatasan tingkat kebisingan “Sound Horeg”, melalui Surat Edaran (SE) Bersama. Aturan yang ditandatangani Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Kapolda Jatim Irjen Nanang Avianto dan Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Rudy Saladin pada 6 Agustus 2025 ini, tidak hanya mengatur soal ketertiban. Melainkan juga menyoroti ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat.

Edaran tersebut membatasi maksimal kebisingan berdasarkan jenis penggunaan pengeras suara. Untuk pengeras suara Statis (menetap, seperti untuk konser musik atau pertunjukan seni budaya di dalam/luar ruangan) maksimal 120 desibel (dBA). Sedangkan, pengeras suara nonstatis (bergerak, seperti pada karnaval budaya atau aksi unjuk rasa) maksimal 85 desibel.

Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Bencana Dinas Kesehatan Kota Batu dr Susana Indahwati memaparkan risiko yang mengintai warga saat terpapar suara dengan intensitas lebih dari 85 dB dalam waktu lama.

“Dampak kesehatan yang bisa ditimbulkan dengan suara 85 dB atau lebih adalah jelas gangguan pendengaran. Bisa terjadi kerusakan permanen atau yang kita sebut tuli sensorik. Kemudian tinnitus, yaitu kondisi telinga berdenging atau berdesis tanpa sumber suara eksternal yang sangat mengganggu,” jelasnya.

Susana mengingatkan bahwa dampak buruk kebisingan tidak hanya berpengaruh pada pendengaran. Paparan itu bahkan bisa merembet pada kesehatan sistemik.

“Dampak lain di luar pendengaran bisa menyebabkan stres, tekanan darah menjadi lebih tinggi atau hipertensi, gangguan tidur, dan pada gilirannya akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular,” jelasnya.

Pernyataan ini sejalan dengan temuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mengidentifikasi kebisingan lingkungan sebagai ancaman signifikan bagi kesehatan publik. Kebisingan tidak hanya menyebabkan gangguan pendengaran, tetapi juga berkontribusi pada penyakit jantung, gangguan kognitif pada anak, dan masalah kesehatan mental.

Batas aman paparan kebisingan, menurut Susana yang merujuk pada WHO, tidak hanya ditentukan dari besarnya suara yang diterima. Tetapi sangat bergantung pada intensitas dan durasi paparan.

“Secara umum, semakin keras suara, semakin singkat durasi paparan yang aman,” ujarnya.

Ia merinci suara di bawah 85 dB umumnya aman untuk paparan selama 8 jam, 88 dB aman maksimal 4 jam, 91 dB aman untuk 2 jam, 100 dB hanya aman selama 15 menit. Sementara itu, paparan 120 dB dapat menyebabkan kerusakan permanen hanya dalam hitungan detik di mana level itu menjadi batas maksimal untuk pengeras suara statis sesuai SE.

Aturan baru ini juga membebankan tanggung jawab besar pada penyelenggara acara. Mereka wajib mengantongi perizinan yang mencakup pembuatan surat pernyataan kesanggupan bertanggung jawab apabila ada korban jiwa, kerugian materiil, kerusakan fasilitas umum, dan properti masyarakat.

Penerapan aturan ini di Kota Batu dan Malang Raya menjadi krusial. Kedua wilayah ini dikenal memiliki agenda pariwisata dan kebudayaan yang padat, seperti festival tahunan, konser, atau karnaval, yang sering melibatkan penggunaan pengeras suara berkapasitas besar.

Warga di sekitar lokasi acara, terutama anak-anak, lansia, dan mereka yang sudah memiliki kondisi kesehatan tertentu, menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dampak kesehatan dari kebisingan yang melampaui batas.

Reporter: Asrur Rodzi

Editor: Intan Refa

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button