Desa Cantik, Alam Eksotik : Tapi Siapa yang Rawat?

CITY GUIDE FM, IDJEN TALK – Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang Purwoto mengatakan ada 83 desa wisata tersebar di 33 kecamatan. Klasifikasinya ada yang rintisan, maju, berkembang hingga mandiri. Dari jumlah itu, baru 5 desa yang bisa tergolong desa mandiri dengan infrastruktur dan pengelolaan yang sudah sangat baik.
“Desa wisata yang baik bukan hanya soal bangunan cantik atau spot foto Instagramable. Melainkan kesadaran masyarakat untuk menjaga alam, tradisi dan budaya lokal sebagai aset utama pariwisata,” kata Purwoto.
Untuk itu, pihaknya terus memberikan pembinaan lewat pokdarwis, menghadirkan akademisi dan praktisi dalam pembinaan langsung kepada warga desa. Dia menegaskan, semua pihak punya andil dalam menjaga agar keindahan alam dan kekayaan budaya di desa-desa wisata.
Salah satu desa wisata mandiri adalah Desa Pujon Kidul. Kepala Desa Pujon Kidul Muhammad Ismail Mahfudz Said menyampaikan, sejak awal pengembangan desa wisata, selalu fokus pada pemberdayaan masyarakat. Mereka terlibat langsung dalam perencanaan, pengelolaan hingga pengawasan desa wisata.
“Ada salah satu langkah konkret yang dijalankan sejak 2021 yakni program One RT One Product. Di mana setiap RT mendapat dana Rp10 juta untuk membangun UMKM yang bisa menjual produk khas, terutama yang berbahan dasar susu dari peternakan lokal,” papar Ismail.
Hasilnya, saat ini Pujon Kidul memiliki pusat oleh-oleh sendiri yang menampung berbagai produk rumahan dari warga lokal. Kendati demikian, pihaknya masih terus menggelar pelatihan-pelatihan supaya warga punya keterampilan yang andal. Termasuk pendampingan untuk memastikan keberlangsungan usaha.
Pengamat Ekonomi Pariwisata dari Politeknik Negeri Malang Dr Aang Afandi berpendapat Desa Pujon Kidul memang layak jadi percontohan. Tapi perlu digarisbawahi bahwa tidak semua desa bisa serta merta menjadi desa wisata mandiri secara tiba-tiba.
“Perlu strategi pemetaan yang tepat, supaya tidak terjadi kanibalisasi antar desa wisata. Tiap desa harus punya keunikan, tidak sekadar meniru desa tetangga. Agar bisa berkolaborasi, bukan malah bersaing,” ungkap Aang.
Selain itu, penting juga menjaga kendali masyarakat lokal terhadap desa wisata. Dalam artian saat investor mulai masuk, jangan sampai investor menjadi pemegang saham lebih dari 50 persen. Karena masyarakatlah yang paling tahu karakter desanya, sehingga pengembangan desa wisata bisa benar-benar berkelanjutan. (FARICHA UMAMI)
Editor : Intan Refa