Blues Spirit Sesi 38 : Korupsi, Akibat Amandemen UUD 45?
Clear sudah. Proses Pemilu 2024 akan berlangsung lagi persis seperti lima tahun lalu, yang kita kenal dengan sebutan proporsional terbuka.
Pada coblosan Februari 2024 nanti itu, adalah kali kelima pelaksanaan pemilu berdasar pada Undang-Undang Dasar 45 yang telah diamandemen. Amandemen keempat atau amandemen terakhir, yang ditetapkan pada tahun 2002.
Amandemen itu dimaksudkan untuk lebih mengekspresikan demokrasi, ‘rakyat memilih langsung personal yang disodorkan oleh partai untuk calon wakil rakyat dan partai koalisi untuk kepala negara atau kepala daerah’.
Simak juga :
Sebelum itu, sistemnya tertutup yaitu caleg sampai presiden ditentukan dalam sistem keterwakilan oleh para wakil rakyat di DPR dan MPR. Yang ini mengekspresikan sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Ada musyawarahnya di dalamnya. Ada ekspresi gotong royongnya. Nah, pada empat kali pemilu yang sudah kita jalani, sudahkah kita evaluasi tuntas efektivitas dan eksesnya?! Sampai di mana hasil keinginan mulia itu?
Diselewengkankah?! Kita lihat, ada kenyataan dalam satu partai, di satu wilayah, antar caleg saja, berkompetisi. Bahkan sikut-sikutan.
Ada ekses yang menjadi lazim dalam semua proses itu, beli suara. Menjadi lazim dan seperti ‘harus’. Para calon, oknum calon, harus bagi-bagi sembako, uang, dan serangan fajar.
Mereka berlomba hanya membangun citra. Lembaga-lembaga survei dibayar untuk mendongkrak popularitasnya. Yang jahat bahkan memfitnah lawan. Black campaign dan seterusnya. Ini semua mahal.
Tentu kita semua pernah mendengar, berapa biaya untuk menjadi anggota dewan dan kepala negara atau kepala daerah?! Di tingkat kabupaten/kota berapa?! Provinsi berapa?! Dan pusat berapa?! Miliaran. Ada yang triliunan.
Kita lalu mendapat kabar, bagaimana sikap para oknum kontestan itu terhadap biaya?! Banyak yang cari cukong dan menjual komitmen. Cukong-cukong mengerti keadaan ini. Mereka beli. Tentu untuk keuntungan pribadi.
Maka, oknum politisinya harus mau menuruti kehendaknya. Cukong-cukong besar adalah para oligarki, ialah 1 persen orang yang menguasai separuh kekayaan negeri ini.
Mereka ingin langgeng mempertahankan hegemoni kekuasaan ekonominya. Mereka mengatur, menentukan, membeli, memilih; harus yang ini, jangan yang itu. Harus begini, jangan begitu. Dan jadilah keaadaan ini.
Oknum politisi itu, korupsi. Merampok uang rakyat, ratusan triliun. Ada guyonan tentang cukong-cukong begini. Dua cukong kaya raya, bertemu. Yang satu tanya, “Bagaimana kisahmu bisa kaya raya seperti ini?”
Dijawab, “Saya memelihara beberapa ekor babi. Saya ternak dari ribuan. Saya kaya raya dari situ. Kalau kamu bagaimana?” tanyanya kepada temannya yang juga cukong itu.
“Kalau saya cukup pelihara beberapa orang itu,” jawabnya sambil menunjuk baliho-baliho yang memajang foto calon.
Imawan Mashuri
Arek Malang, Founder Arema Media Group, JTV dan beberapa media di Indonesia