Blues Spirit Sesi 23 : Radio Medium Sambil yang Efektif Menggerakkan Khalayak
Setelah Hari Pers Nasional 9 Februari lalu, menyusul hari Radio se-dunia, 13 Februari kemarin. Ungkapan utama pada dua moment besar itu, sama. Menanti titik normal akibat disrupsi digital terhadap semua media mainstream.
Ada juga potret akademik. Senada. Di Unair.
Pada ujian terbuka doktor komunikasi, 19 Desember 2022 lalu. Kebetulan saya ikut menjadi penanya terhadap disertasi promovendus Mas Eko Pamuji, sekretaris PWI Jatim.
Baca juga :
Dia, pada ujian itu, lulus memuaskan sebagai doktor komunikasi. Penelitiannya menguak, antara lain disrupsi media belum sampai pada titik ekulibrium. Dan pada masa perubahan ini, terjadi pergeseran model bisnis. Cara belanja iklan dan penerapan jurnalistiknya.
Semua itu memang benar adanya. Saya punya belasan media di banyak daerah, misalnya di Malang, Semarang, Manado, Gorontalo, Ternate, Luwuk, Halmahera dan lain-lain.
Yang jenis cetak harian semakin di kota besar, rasanya semakin membenarkan bahwa dunia media memang sedang menuju paperless, tanpa kertas. Seperti sertifikat yang sudah mulai tanpa kertas itu.
Perubahannya memang drastis. Tapi di pelosok, terutama di luar Jawa, masih cukup digdaya, masih sangat sehat. Jenis TV berkejaran dengan Youtube dan Tiktok yang bersifat on demand. Tapi masih sehat karena sumbernya masih content TV yang dipecah-pecah per segmen. Sesuai kepintaran mengedit dan ambil angle.
Yang jenis radio, justru menarik. Karena sifatnya yang relax. Artinya, mengkonsumsinya tidak terlalu butuh konsentrasi. Menjadikan media ini cukup efektif. Meng-input-nya pun, gampang. Bisa live. Tayang detik itu juga.
Karena hanya suara. Sekarang, radio memang sudah bisa visual. Seperti City Guide 911 FM ini. Tapi basicnya adalah tetap suara. Ada perilaku, orang naik mobil, radio diputar guna mendapat panduan jalan dan info lainnya.
Penumpangnya umumnya merunduk, buka HP. Maka OOH, out of home alias media luar ruang, yaitu videotron dan sejenisnya, yang berdiri di pinggir-pinggir jalan, menjadi kurang efektif lagi. Kurang ditonton. Sementara radio itu, radio tadi, sudah berkabar dengan sendirinya. Sesekali diputar lagu.
Pejabat dan para oligarki sangat paham keadaan media ini. Terutama soal kesulitan-kesulitannya. Di sinilah sebagian media, terutama mainstream, mereka kontrol.
Maka kini siapa mengontrol siapa?! Kalau dulu, media melakukan kritik, investigasi sebagai kontrol sosial. Media yang melakukan kontrol. Itulah perilaku baru akibat pergeseran yang belum menentu, yang belum sampai pada titik normal baru. Apa saja perilaku itu, kita bahas pada Blues Spirit Sesi 24 nanti.
Imawan Mashuri
Arek Malang, Founder Arema Media Group, JTV dan beberapa media di Indonesia.