Langkah Lincah Penari Down Syndrome di Paralimpik Kota Batu

CITY GUIDE FM, KOTA BATU – Lima penari berbaju merah melangkah menuju lapangan pada penutupan Kejuaraan Paralimpik Kota Batu, pada Sabtu kemarin (26/7). Mereka terlihat mengenakan aksesori serba merah khas penari Malangan.
Seorang perempuan berpakaian kasual tampak sibuk merapikan barisan dan menata para penari yang terlihat antusias. Setelah formasi terbentuk rapi, ia berjalan menuju barisan penonton sambil terus memberikan arahan gerak tari dari kejauhan.
Koordinasi para penari sesekali terlihat kurang sinkron. Namun bukannya kecewa, para penonton malah tampak terharu. Mereka memahami bahwa untuk sebuah penampilan berdurasi sekitar lima menit itu, butuh latihan dan persiapan yang tidak ringan.
Sebab, kelima penari tersebut adalah penyandang Down Syndrome dan tuna grahita (hambatan intelektual) yang bersekolah di SLBN Kota Batu. Selama tiga hari terakhir, mereka yang terdiri dari Nugie, Rufki, David, Raihan, dan Naila rutin berlatih demi penampilan di hari itu.
“Kalau anak-anak Down Syndrome, biasanya saya kasih tiga gerakan. Mereka hafal, lalu hilang lagi. Seperti gerakan menggulung tadi, seharusnya ke kanan dua kali, ke kiri dua kali,” jelas Kepala Sekolah SLBN Kota Batu Siti Muamanah Mariyam.
Perempuan yang biasa disapa Bu Ana itu juga merupakan pendamping tari kelima anak tadi. Tarian yang mereka tampilkan hari itu adalah hasil ciptaannya sendiri, khusus untuk anak-anak difabel yang ia dampingi.
“Harapan saya dengan tarian ini, guru-guru SLB bisa melihat bahwa anak-anak Down Syndrome juga bisa menari, bisa berkarya,” ujar Ana.
Usai pertunjukan, para penari terlihat berbaur dengan penonton, menyalami satu per satu dengan begitu aktif. Terlihat dengan senyum puas dan wajah gembira di wajah mereka.
Perempuan yang tahun ini genap berusia 57 tahun itu pun berbagi cerita tentang “seni”-nya dalam mengajar anak-anak berkebutuhan khusus menari. Ia mengaku harus terus berada di dekat para penari, memberikan petunjuk gerakan secara langsung.
“Kalau anak-anak tampil, pasti seperti itu. Jadi harus terus dipanggil, dikasih petunjuk, supaya mereka tetap terhubung. Apalagi yang tuna rungu,” jelasnya.
Menurut Ana, lewat tarian yang ia kembangkan, kontingen tuna rungu dari SLBN Kota Batu pernah meraih juara III tingkat provinsi. Menurutnya, dalam mengajar anak-anak difabel, kunci utamanya adalah kesabaran. Mereka tidak bisa dipaksa.
“Kalau anaknya jenuh, ya makan dulu, minum dulu, baru latihan lagi. Jadi harus ada sela makan, sela minum, atau makan kue dulu,” ucapnya sambil tersenyum.
SLBN Kota Batu, tempat Ana mengajar memiliki sekitar 140 siswa dari jenjang SD hingga SMA. Selain menari, para siswa juga diajarkan keterampilan sehari-hari seperti memasak, membuat kue dan kegiatan produktif lainnya.
Ana berharap kegiatan seperti yang ditampilkan hari itu bisa membuka mata masyarakat terhadap potensi anak-anak penyandang disabilitas.
“Harapan saya sebagai kepala sekolah, setelah lulus, anak-anak bisa mandiri dan memiliki pekerjaan,” tuturnya.
Reporter : Asrur Rodzi
Editor : Intan Refa