Viral Based Policy, Kebijakan Viral Dulu Cabut Kemudian

CITY GUIDE FM – Sejak masa pemerintahan Presiden Jokowi hingga Prabowo Subianto, tidak sedikit kebijakan-kebijakan publik yang dibuat selalu menimbulkan kritikan atau respon negatif dari masyarakat. Polanya nyaris mirip: umumkan, viral, lalu batalkan.
Mengutip BBC, cara pemerintah mengoreksi atau menganulir kebijakan usai viral dan ramai penolakan oleh khalayak disebut viral based policy. Ambil saja contoh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia tiba-tiba mengeluarkan larangan penjualan gas LPG subsidi secara eceran.
Bahlil mengatakan larangan ini untuk memastikan agar tidak ada penjual yang menjual gas melon di atas harga tertinggi eceran (HET). Serta agar penyaluran gas bersubsidi itu tepat sasaran. Kondisi ini memaksa konsumen untuk hanya membeli di pangkalan gas LPG.
Akibatnya, muncul antrean panjang pada pangkalan LPG yang hampir terjadi di seluruh daerah. Masyarakat pun protes, karena mereka lebih kesulitan karena pengecer tidak boleh menjualnya.
“Sebenarnya ini bukan kebijakan presiden untuk kemudian melarang itu. Tapi melihat situasi dan kondisi, presiden turun tangan menginstruksikan agar pengecer bisa berjalan kembali. Sambil kemudian pengecer itu jadi sub-pangkalan,” kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.
Tidak hanya itu, ada juga soal kenaikan PPN 12 persen. Pada Januari 2025 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan kenaikan PPN menjadi 12 persen (sebelumnya 11 persen).
Baca juga :
Ia mengatakan kebijakan ini berlandaskan pada UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Lewat kenaikan ini, pemerintah ingin menambah pendapatan negara untuk membiayai program-program yang sudah dirumuskan.
Atas kebijakan ini, ramai penolakan dari masyarakat dan pengamat yang menganggap kebijakan ini hanya akan membebani masyarakat dan berpotensi menciptakan kelompok miskin baru. Pada akhirnya, pemerintah meralat bahwa kebijakan ini hanya untuk barang dan jasa mewah.
Akademisi Universitas Airlangga Nurul Jamila Hariani mengatakan kebijakan publik pemerintah seharusnya memiliki 3 wujud kapasitas. Pertama, kemampuan menganalisa sebuah kebijakan dengan penuh pertimbangan tidak hanya untuk jangka pendek, tapi juga jangka panjang.
Kedua, kemampuan operasional yang menekankan pada aspek sejauh mana pemerintah mampu mengimplementasikannya. Ketiga, kemampuan politik berkaitan dengan bagaimana menyusun strategi komunikasi.
Sayangnya, pemerintahan kita tampaknya tidak memiliki itu.
“Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak berorientasi masa depan. Tidak mengantisipasi akibat yang akan terjadi, sehingga sifatnya reaktif dan tidak strategis,” jelas Nurul.
Bahkan, pemerintah seolah tidak punya justifikasi yang jelas terhadap kebijakan yang dikeluarkan. Sehingga ketika publik memprotesnya, pemerintah tidak dapat mengelak dan mengambil jalan pintas dengan membatalkan kebijakan.
Minimnya partisipasi publik dalam menyusun kebijakan itu juga jadi salah satu faktor munculnya gelombang protes masyarakat. Sebab peran publik begitu krusial ketika membahas soal kebijakan, karena merekalah yang akan menjadi subjek atas segala keputusan pemerintah.
Jika viral based policy ini terus dilakukan secara berulang, tidak menutup kemungkinan masyarakat menjadi muak dan menganggap pemerintah tidak kompeten.
Editor : Intan Refa